Bisnis.com, JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia buka suara terhadap manuver Presiden Joko Widodo yang berencana melarang ekspor timah pada akhir tahun ini.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Peningkatan Kualitas Manusia, Ristek dan Inovasi yang juga menjabat sebagai (PJS) Wakil Ketua Umum Bidang ESDM Kadin Indonesia Carmelita Hartoto menilai hilirisasi timah harus dilakukan secara bertahap sebelum pemerintah memutuskan pelarangan tersebut.
Pasalnya, dia mengemukakan Indonesia saat ini menjadi eksportir logam timah terbesar di dunia. Pada 2020, ekspor logam timah Indonesia sebesar 65.000 dan tumbuh menjadi 74.000 ton pada 2021.Sementara penyerapan dalam negeri sekitar 5 persen dari produksi logam timah nasional.
Carmelita juga menambahkan, dalam 10 tahun terakhir, memang terjadi peningkatan transaksi perdagangan logam timah domestik dari 900 ton menjadi 3.500 ton. Tetapi, jumlahnya masih tergolong kecil dan belum dapat menyerap seluruh produksi logam timah nasional.
“Industri hulu timah Indonesia memang telah memberikan manfaat positif, baik terhadap pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja, jumlah investasi, maupun program pengembangan pemberdayaan masyarakat. Persoalannya, penyerapan logam timah untuk kebutuhan domestik masih sangat kecil. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara industri hulu dengan hilir. Industri hulu timah berkembang pesat, sebaliknya hilir belum,” ujar Carmelita dalam keterangan resmi, Jumat (23/9/2022)
Carmelita menegaskan Kadin Indonesia sebagai payung dari dunia usaha Indonesia dan mitra strategis pemerintah berharap agar pemerintah terus menggenjot infrastruktur hilirisasi sehingga hilirisasi sumber daya alam (SDA) secara bertahap bisa dilakukan.
Baca Juga
Selain itu, pemerintah juga diharapkan bisa memberikan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak dan mempermudah perizinan operasi bagi perusahaan luar dan dalam negeri.
Persiapan infrastruktur dan insentif dinilai dapat menarik investor, serta menjamin kedua mineral tersebut terserap pasar domestik. Hilirisasi ini juga membutuhkan roadmap sebagai petunjuk bagi para pelaku usaha.
“Kadin Indonesia mendukung penuh hilirisasi ini, namun hilirisasi timah ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam melakukan hilirisasi, pelaku usaha membutuhkan persiapan yang matang dan modal yang cukup, dimana artinya pelaku usaha memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun jika ingin hilirisasi yang optimal. Tak hanya itu, dalam melakukan hilirisasi juga diperlukan roadmap yang jelas,” ucap Carmelita.
Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara Kadin Indonesia Arya Rizqi Darsono menegaskan Kadin Indonesia terus mendukung pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan yang ke depannya dapat membantu pelaku usaha dalam melakukan hilirisasi timah secara bertahap agar berdampak bagi peningkatan pendapatan negara.
“Timah dapat menjadi senjata di Indonesia, karena volume ingot timah yang melimpah ruah di Indonesia. Maka dari itu, hilirisasi timah harus dilakukan secara optimal. Jika hilirisasi ini terpecah, akan merugikan Indonesia,” ucap Arya.
Sejalan dengan Arya, Jabin Sufianto, Wakil Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal AETI mengatakan bursa timah harus dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum memulai hilirisasi ini. Terlebih, volume ingot timah di Indonesia besar, dimana dapat mendikte dan menguasai dunia.
“Dengan banyaknya volume ingot di Indonesia, hal ini dapat dijadikan bargaining power untuk Indonesia. Maka dari itu, dalam mengolah timah, jangan diurai ke bawah menjadi produk ritel, karena pasarnya sedikit,” ucap Jabin.
Jabin menambahkan dalam melakukan hilirisasi, pemerintah harus memperhatikan pajak ekspor di Indonesia. Saat ini, pajak ekspor di Indonesia lebih besar dibandingkan pajak impor, yakni 11 persen. Sementara pajak impor hanya 0 persen. Bahkan terdapat impor yang bebas biaya pajak. Hal inilah yang memberatkan pelaku usaha dalam melakukan hilirisasi.