Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih mentolerir proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU Batu Bara baru dengan batas operasi maksimal 2050.
Keputusan itu tertuang dalam Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang terbit pada Selasa (13/9/2022) lalu.
Jokowi menegaskan izin pembangunan PLTU Batu Bara baru mesti memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat yang akan diatur lebih lanjut pada turunan Perpres tersebut.
Hanya saja, PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Perpres tersebut masih dapat dibangun dengan batas maksimal operasi 2050 mendatang.
Selain itu, PLTU baru yang akan dibangun setelah Perpres mesti terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam proyek strategis nasional (PSN).
“Terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam proyek strategis nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Jokowi seperti dikutip dari Perpres itu, Jumat (16/9/2022).
Baca Juga
Sementara itu, pengembang PLTU baru nantinya mesti berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset dan bauran energi.
“Berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi,” kata Jokowi.
Sebelumnya, Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur Umar menuturkan sebagian besar investor menyayangkan skema penentuan dan besaran tarif jual listrik energi baru dan terbarukan yang diatur di dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang terbit pada Selasa (13/9/2022) lalu.
“Masih ada beberapa kondisi yang tertera di dalam Perpres tersebut yang di luar ekspektasi investor yang selama ini menunggu, salah satunya feed in tariff,” kata Bobby saat dihubungi, Kamis (15/9/2022).
Kendati terdapat penyegaran dari sisi insentif fiskal, Bobby mengatakan, Perpres yang menitikberatkan pada negosiasi dan evaluasi tarif dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN secara bisnis justru berpotensi menahan laju pengembangan industri EBT di dalam negeri.