Bisnis.com, JAKARTA — Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur Umar menuturkan sebagian besar investor menyayangkan skema penentuan dan besaran tarif jual listrik energi baru dan terbarukan (EBT) dalam aturan yang baru diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Aturan baru yang dimaksud yaitu Perpres No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang diteken pada Selasa (13/9/2022).
“Masih ada beberapa kondisi yang tertera di dalam Perpres tersebut yang di luar ekspektasi investor yang selama ini menunggu, salah satunya feed in tariff,” kata Bobby saat dihubungi, Kamis (15/9/2022).
Kendati terdapat penyegaran dari sisi insentif fiskal, Bobby mengatakan, Perpres yang menitikberatkan pada negosiasi dan evaluasi tarif dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN secara bisnis justru berpotensi menahan laju pengembangan industri EBT di dalam negeri.
Padahal, kata dia, dari sisi kapasitas produksi sejumlah pembangkit listrik bersih di dalam negeri masih tidak kompetitif dibandingkan dengan beberapa negara kompetitor. Dia mencontohkan, PLTS yang ada di Indonesia hanya mampu menyerap panas matahari selama 6 jam, sedangkan sejumlah PLTS yang terdapat di negara timur tengah relatif mampu menampung daya hingga 10 jam per hari.
“Dari sisi itu saja kita tidak terlalu menarik ya keekonomiannya pasti beda,” tuturnya.
Dengan demikian, dia berharap, pemerintah dapat menyusun kebijakan turunan dari Perpres itu dengan menuangkan sejumlah insentif untuk menekan biaya pengembangan wilayah kerja atau infrastruktur pembangkit EBT ke depan.
“Terutama insentif fiskal seperti pembebasan import duty barang-barang, tax holiday itu yang kita tunggu aturan turunan untuk melengkapi Perpres ini,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah bakal mengalokasikan dana kompensasi tambahan untuk PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN berkaitan dengan upaya intensifikasi pembelian listrik dari pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah turut mengalokasikan kompensasi tambahan kepada PLN untuk setiap pembelian listrik bersih yang berpotensi mengerek biaya pokok pembangkit tenaga listrik milik perusahaan setrum pelat merah tersebut.
“Kita ingin mengembangkan EBT yang kompetitif, dan beberapa jenis teknologi EBT sudah bisa bersaing dengan pembangkit listrik fosil, apalagi pada saat sekarang,” kata Dadan kepada Bisnis, Kamis (15/9/2022).
Dadan memastikan skema negosiasi serta evaluasi tarif pembelian listrik bersih itu akan mengakomodasi nilai keekonomian proyek yang tertuang saat proses lelang nanti. Dia menampik anggapan dari sebagian pelaku usaha soal skema negosiasi yang dipilih justru untuk menekan tarif pembelian dari produsen.
“Tarif dalam Perpres sebagai batas atas dan prosedur pengadaannya akan dilakukan melalui tender oleh PLN, jadi tidak langsung negosiasi dengan PLN, tetapi menggunakan hasil lelang,” kata Dadan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi investasi pada sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) baru mencapai US$0,67 miliar hingga Juni 2022. Torehan itu sekitar 16,9 persen dari target investasi yang dipatok mencapai US$3,97 miliar pada tahun ini.
Adapun, capaian investasi sektor Bioenergi yang terdiri dari PLT Bioenergi dan Pabrik Biodiesel sebesar sekitar US$36 juta atau 22,2 persen dari total target investasi yang dipatok US$162 juta.
Sementara itu, capaian investasi PLT Panas Bumi berada di angka US$251 juta atau 26,5 persen dari keseluruhan target investasi yang diharapkan mencapai di angka US$947 juta.
Sementara torehan investasi untuk PLT Aneka EBT yang terdiri dari PLTA, PLTM, PLTMH, PLTS Atap dan PLTS sebesar sekitar US$379 juta atau 13,3 persen dari total target investasi di 2022 yang sebesar US$2,86 miliar.