Bisnis.com, JAKARTA— Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan pemerintah berkomitmen untuk meninjau kembali ketentuan harga jual bahan bakar minyak (BBM) domestik setelah adanya tren pelemahan harga minyak mentah di perdagangan dunia saat ini.
Menurut Arifin, penyesuaian itu dapat dilakukan ketika harga minyak mentah dunia mendekati asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) pada awal tahun di angka US$63 per barel.
“Kalau misalnya kembali ke US$63 ada [penyesuaian] lah, kan APBN sekarang US$63 per barel, iya toh,” kata Arifin saat ditemui di Kompleks Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (13/9/2022).
Arifin mengatakan harga BBM yang berlaku saat ini masih relatif jauh dari harga keekonomian. Kendati demikian, dia mengatakan, pemerintah akan tetap meninjau harga itu setelah adanya pelemahan harga minyak mentah dunia yang ajek hingga akhir tahun ini.
“Pertamax kan beberapa waktu lalu harganya ditahan Rp12.500 [jauh dari keekonomian], di akhir-akhir situasinya kan memang sudah berat,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga minyak mentah dunia kembali terkoreksi setelah menguat selama tiga hari beruntun di tengah kekhawatiran pasar terhadap prospek permintaan global dan pelemahan nilai tukar dolar AS.
Baca Juga
Berdasarkan laporan Bloomberg pada Selasa (13/9/2022), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) terpantau turun 1 persen ke level US$86,90 per barel setelah reli 7 persen selama 3 sesi perdagangan terakhir. Kenaikan harga yang terjadi sebelumnya ditopang oleh koreksi nilai tukar dolar AS.
Harga minyak dunia terkoreksi ke level terendahnya sejak Januari 2022 pada awal bulan ini seiring dengan kekhawatiran pasar terhadap konsumsi global, termasuk China yang memberlakukan pembatasan mobilitas untuk mencegah penyebaran virus corona.
Kondisi ini juga diperburuk dengan kebijakan pemadaman listrik yang diberlakukan negara–negara anggota Uni Eropa di tengah krisis energi. Meski demikian, pelemahan nilai dolar AS setelah mencapai level tertingginya pada pekan lalu membuat komoditas menjadi lebih murah untuk pembeli dari luar negeri.
Analis Morgan Stanley Martijn Rats dalam laporannya menyebutkan reli harga minyak berkelanjutan belum akan terjadi dalam waktu dekat. Hal ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi di sejumlah kawasan yang mengindikasikan adanya penurunan konsumsi energi.
“Pelemahan ini juga mulai terlihat pada data–data terkait khusus untuk minyak. China menjadi salah satu kontributor utama sentimen ini,” katanya dikutip dari Bloomberg.