Bisnis.com, JAKARTA – Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengeluarkan perhitungan awal mengenai dampak penurunan daya beli masyarakat yang diyakini akan terjadi jika harga bahan bakar minyak (BBM) naik.
Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan akan ada 10-15 persen pekerja formal industri TPT yang berpotensi dirumahkan pada Oktober ini.
Jumlah tersebut setara dengan sekitar 550.000 orang dari total tenaga kerja di industri TPT Tanah Air yang dilaporkan APSyFI saat ini angkanya mencapai 3,7 juta karyawan.
"Berdasarkan survei asosiasi, dari total 3,7 juta karyawan formal industri TPR, sekitar 10-15 persen akan dirumahkan pada Oktober mendatang," kata Redma kepada Bisnis, Jumat (2/9/2022).
Redma mengatakan perhitungan asosiasi mengenai potensi perumahan karyawan industri TPT didasarkan kepada dampak akumulatif penurunan daya beli akibat harga BBM dan pengurangan produksi akibat barang impor.
Berbeda dengan industri basic needs di sektor manufaktur lainnya, seperti makanan dan minuman (mamin) serta farmasi, TPT dinilai menjadi yang paling rentan terhadap penurunan daya beli.
Baca Juga
Mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran per kapita orang Indonesia untuk membeli pakaian dan alas kaki berada di kisaran Rp31.000 per bulan. Jauh di bawah mamin yang mencapai Rp622.000 per bulan pada 2021.
Di sisi lain, maraknya barang impor yang beredar di pasar dalam negeri memaksa pelaku industri TPT untuk mengurangi 15 persen kapasitas produksi yang disebut akan mulai dilakukan pada September 2022.
Sampai dengan saat ini, ungkap Redma, ada sekitar 150 juta meter kain impor yang beredar di pasar dalam negeri. Jumlah tersebut berpotensi terus bertambah karena pemerintah membuka izin impor untuk 1 miliar kain hingga akhir 2022.
"Barang impor paling besar masuk dari China. Tercatat, barang dari China jumlahnya 40 persen dari total barang impor. Dari sekitar US$9 miliar nilai impor kain, barang dari China nilainya sekitar US$3 miliar," jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskan kondisi tersebut diperparah oleh masih kurang bersahabatnya kondisi pasar ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan negara di Eropa akibat inflasi.
Sekadar tambahan, sampai dengan akhir Agustus 2022 APSyFI mencatat terdapat 40 persen pesanan dari pasar ekspor menghilang akibat dampak inflasi di AS dan Eropa.
Diperkirakan, dampak akumulatif sejumlah faktor negatif di atas berpotensi membuat 30 persen dari total pekerja formal industri TPT RI atau sekitar 1,1 juta karyawan terpaksa harus dirumahkan.
Berdasarkan catatan asosiasi, pada puncak krisis Covid-19 dalam kurun 2 tahun lalu, industri TPT merumahkan sekitar 50 persen dari total karyawannya.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai efisiensi memang merupakan langkah yang paling wajar bagi pelaku industri di tengah kondisi seperti saat ini.
"Biasanya hal yang dilakukan terlebih dahulu adalah efisiensi. Dengan demikian, kenaikan beban produksi terhadap output serta harga di pasaran bisa ditekan," kata Shinta kepada Bisnis.
Selanjutnya, kata Shinta, barulah perusahaan bisa melak mengambil langkah penyesuaian strategi penjualan yang disesuaikan dengan perubahan harga jual yang lebih tinggi sebagai respons atas dampak inflasi terhadap sisi produksi.
Namun, kondisinya tidak akan serta merta sama antara setiap perusahaan di industri yang terdampak.