Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pelaku usaha mengaku bakal berhati-hati dalam melakukan ekspansi bisnis dalam beberapa waktu ke depan.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani memproyeksikan beban pelaku usaha untuk melakukan ekspansi usaha hingga akhir tahun semakin berat karena sejumlah faktor.
Shinta mengatakan, salah satunya disebabkan oleh indikator pasar domestik yang mengindikasikan potensi kontraksi dalam jangka pendek-menengah.
"Perusahaan lebih berhati-hati dalam melakukan ekspansi usaha untuk memastikan daya serap pasar bisa terjaga dalam proyeksi peningkatan beban dan risiko pasar," kata Shinta kepada Bisnis, Kamis (1/9/2022).
Dia pun meyakini selama inflasi dan faktor beban biaya produksi masih diproyeksikan terus meningkat tingkat kepercayaan diri pelaku usaha untuk melakukan ekspansi akan terus ada di level ‘borderline’.
Dengan demikian, kata Shinta, pelaku usaha hanya dapat mengambil langkah-langkah defensif untuk memastikan efek inflasi terhadap keberlangsungan dunia usaha bisa diminimalisasi.
Baca Juga
Adapun, kekhawatiran pelaku usaha tersebut sejalan dengan pandangan kalangan ekonom yang memprediksi sektor manufaktur bakal mengurangi jumlah tenaga kerja untuk mengantisipasi potensi dampak kenaikan BBM.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pengurangan jumlah tenaga kerja merupakan langkah yang sangat mungkin dilakukan di industri manufaktur demi efisiensi proses produksi.
Sebab, jelasnya, pelaku industri di sektor tersebut tidak punya banyak pilihan. Bahkan, kata Faisal, insentif dari pemerintah pun dinilai tidak akan memberikan efek signifikan kepada kinerja manufaktur.
"Sehingga, dari sisi industri mereka akan melakukan efisiensi termasuk mengurangi jumlah karyawan," ujarnya kepada Bisnis.
Faisal menjelaskan terdapat 2 faktor yang menekan kinerja manufaktur jika harga BBM naik. Pertama, permintaan domestik yang berpotensi turun seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat.
Terutama, kata Faisal, permintaan terhadap kebutuhan dasar seperti produk-produk kesehatan, makanan dan minuman (mamin), dan termasuk produk tekstil.
Selain tu, kenaikan harga BBM dinilai bakal menambah beban industri manufaktur yang dipastikan berhadapan dengan persoalan naiknya ongkos produksi, baik karena penggunaan BBM untuk operasi mesin maupun transportasi dan logistik.
Dampak kenaikan harga BBM terhadap tenaga kerja tersebut diramal akan tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berpotensi terkontraksi dalam beberapa bulan ke depan.
Faisal memperkirakan kemungkinan kontraksi di PMI manufaktur Indonesia bisa menyentuh level 49 pada Oktober hingga akhir 2022 jika kenaikan BBM yang disinyalir sebesar 30 persen terealisasi.
Kendati demikian, pemerintah tetap optimistis kinerja manufaktur nasional bakal terus menguat ke depannya dan menyiapkan strategi yang dinilai dapat mendukung penguatan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pemerintah bakal terus memacu konsumsi domestik dengan memastikan serapan produk industri dalam negeri.
Salah satu strategi yang diterapkan adalah melalui optimalisasi belanja pemerintah melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
"Saya berpesan kepada para pelaku industri untuk terus meningkatkan kapasitas dan utilisasinya, membuat penyesuaian, dan memastikan perusahaan mengambil manfaat dari kebijakan ini," ujar Agus.
Senada, Ekonom S&P Global Market Intelligence Laura Denman mengatakan pertumbuhan yang lebih jelas di sisi output dan pemintaan baru menunjukkan kesehatan ekonomi di masa mendatang.
Tekanan harga akibat inflasi juga diharapkan terus berkurang karena dampak Covid-19 yang terus menurun. Namun begitu, kepercayaan bisnis secara keseluruhan menurun dari posisi bulan Juli 2022.