Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Turun, DPR: Tak Ada Alasan Naikkan Harga BBM!

Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto mengkritik rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar.
Petugas SPBU di Kota Palembang mengisi BBM kendaraan saat libur Natal 2020. istimewa
Petugas SPBU di Kota Palembang mengisi BBM kendaraan saat libur Natal 2020. istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto mengkritik rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar.

Rofik mengatakan rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dinilai sebagai musibah baru bagi rakyat Indonesia. Rencana kenaikan ini dipandang tidak tepat, karena harga minyak dunia sedang turun dan berada di kisaran US$90 per barel.

Menurutnya, tidak ada alasan menaikkan BBM saat ini, lantaran dana subsidi dan kompensasi sudah dialokasikan dengan asumsi harga ICP US$100 per barel.

Adapun, harga minyak dunia per 21 Agustus 2022 sudah US$90 per barel dengan rincian West Texas Intermediate (WTI) Crude sebesar US$89.63 per barel dan Brent Crude sebesar US$95,50 per barel.

"Ini artinya bantalan anggaran yang telah disediakan sudah sesuai dalam menampung fluktuasi harga minyak dunia. Buat apa menyediakan dana bantalan ini kalau pada akhirnya harga BBM naik juga. Masyarakat tentu tidak bisa mencerna logika berpikir seperti ini. Lagi-lagi mereka merasa dikorbankan dan dikalahkan kepentingannya," kata Rofik dalam keterangan tertulis, Selasa (23/8/2022).

Rofik menilai pemerintah terbukti tidak kredibel dan rasional dalam rencana alokasi anggarannya. Banyak alokasi anggaran yang ditujukan untuk proyek-proyek infrastruktur transportasi yang jauh dari mensejahterakan rakyat, tapi nilai investasinya sangat besar seperti bandara, pelabuhan, dan kereta cepat.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, yang saat ini tertunda, untuk tidak menyebut mangkrak, anggarannya membengkak dan membutuhkan bantuan anggaran dari APBN.

Rofik yang juga politikus PKS ini menyebut biaya pembangunan Kereta Cepat diperkirakan membengkak sebesar US$1,1 - 1,9 miliar dari perhitungan awal atau sekitar Rp16,3 triliun, setara dengan Rp28,2 triliun dengan asumsi kurs Rp14.800.

"Ini berbeda dengan janji presiden yang mengatakan tidak akan menggunakan uang rakyat sepeserpun. Belum lagi jelas segmen masyarakat mana yang menjadi penerima manfaatnya karena ongkos tiketnya diperkirakan sebesar Rp400.000 sekali jalan, proyek kereta cepat ini sudah akan membebani APBN," ujarnya.

Menurut data PT Kereta Cepat Indonesia China, progres per Juli 2022 ini sudah mencapai 84 persen. Belum jelas kepastian proyek kereta cepat ini ke depan bila tanpa bantuan anggaran dari APBN.

"Di sini jelas sekali pemerintah gagal menjalankan amanatnya dalam mengelola anggaran untuk mensejahterahterakan rakyat. Alokasi subsidi dalam APBN ini lebih dirasakan pemerintah sebagai beban. Padahal, subsidi ini yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," tuturnya.

Rofik menambahkan, rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi akan berdampak signifikan terhadap indeks harga konsumen (IHK), yang pada akhirnya akan mengganggu roda perekonomian nasional.

Dengan naiknya harga BBM subsidi, imbuhnya, laju inflasi akan melonjak tinggi. Kenaikkan harga itu juga berpotensi menggerus daya beli rumah tangga, sebab BBM merupakan salah satu komoditas primer masyarakat. Di mana pada akhirnya akan mengganggu perekonomian nasional.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper