Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom senior Faisal Basri menilai bahwa kedaulatan pangan di Indonesia saat ini lebih buruk daripada masa sebelum merdeka. Menurutnya, dahulu Indonesia mencatatkan surplus dari pangan, tetapi saat ini justru menjadi importir besar dalam genggaman sejumlah korporasi.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan pengajar di Universitas Indonesia itu menilai bahwa saat ini Indonesia lebih banyak mengimpor pangan daripada mengekspornya. Kondisi itu menjadi krusial di tengah ancaman krisis pangan, yang menjadi perhatian global saat ini.
Faisal menjelaskan bahwa pada masa penjajahan, pangan di Nusantara justru mengalami surplus. Indonesia dikenal sebagai produsen dan eksportir karet, bahkan menjadi eksportir kedua terbesar komoditas gula pada 1937, setelah Kuba.
"Sekarang kita importir terbesar gula di dunia, itu dia kemerdekaan. Sekarang pabrik gula paling banyak menyedot tebu dari petani asing daripada petani Indonesia," ujar Faisal dalam dialog Memaknai Kemerdekaan Ekonomi di Era Tekanan Kehidupan Masyarakat, Jumat (19/8/2022).
Dia menyebut bahwa pabrik gula berperan besar dalam menyebut tebu-tebu dari petani asing, bukan petani dalam negeri. Pabrik-pabrik itu, menurut Faisal, dikuasai oleh 11 perusahaan besar, di antaranya milik Tomy Winata, Martua Sitorus, dan Edi Kusuma, yang berperan dalam impor 5,5 juta ton gula.
Menurut Faisal, kondisi pangan utama Indonesia bergantung kepada impor, seperti gandum yang mencapai 100 persen, kedelai 80 persen, dan lain-lain. Dia pun menilai bahwa kondisi pangan menjadi lebih buruk dari kondisi sebelum Indonesia merdeka.
Baca Juga
Kondisi tersebut dapat berdampak kepada kebijakan belanja, karena perlu adanya campur tangan uang negara dalam menangani defisit pangan dan defisit dalam berbagai aspek. Faisal menyebut bahwa akhirnya negara akan mengeksploitasi sumber daya alam agar memperoleh dana untuk menambal berbagai defisit tersebut.
"Lantas uang untuk menomboki defisitnya dari mana? Dari mana lagi kalau kita tidak menguras kekayaan alam semakin dalam, membabat hutan semakin luas, mengambil hak rakyat untuk kepentingan-kepentingan kekuatan tertentu, komoditisasi itu," ujar Faisal.