Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri menilai bahwa pembayaran bunga utang mencatatkan pertumbuhan tertinggi dibandingkan belanja lain selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau sejak 2014 hingga saat ini. Dia pun menyebut bahwa APBN seolah menjadi instrumen untuk membayar utang.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan pengajar di Universitas Indonesia tersebut menjabarkan berbagai belanja pemerintah sejak 2014 hingga 2023, berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Data itu menjadi gambaran kebijakan belanja pemerintahan Jokowi, yang baru akan berakhir pada 2024.
Faisal menyebut bahwa pembayaran bunga (interest payments) pada 2023 akan mencapai Rp441,4 triliun, naik dari posisi tahun ini di angak Rp403,9 triliun. Kenaikan terjadi terus menerus sejak 2014, bahkan menjadi yang tertinggi dari belanja-belanja lainnya dalam APBN.
"Kita lihat belanja yang meningkat paling pesat di era Jokowi, 2014 ke 2023, paling besar kenaikannya adalah bayar bunga, 230,8 persen. Dua kali lipat lebih kan," ujar Faisal dalam dialog Memaknai Kemerdekaan Ekonomi di Era Tekanan Kehidupan Masyarakat, Jumat (19/8/2022).
Dia pun mengaitkan dengan narasi capaian pemerintah yang bangga karena belanja APBN akan menyentuh Rp3.000 triliun. Menurut Faisal, pencapaian itu tidak layak dibanggakan karena pertumbuhan belanja tertinggi justru dicatatkan oleh pembayaran bunga utang.
"Kok ini dibanggakan? Kan aneh. Bayar bunga meningkat pesat kok bangga, era baru Rp3.000 triliun," katanya.
Baca Juga
Faisal pun menjelaskan bahwa pertumbuhan belanja kedua terbesar adalah belanja barang, yang sejak 2014 hingga 2023 sudah naik 114,8 persen. Pertumbuhan ketiga dicatatkan oleh belanja pegawai (81,6 persen) dan keempat oleh belanja modal (35,1 persen).
"Belanja modal sejak Pak Jokowi berkuasa sampai tahun depan itu cuma naik 35 persen. Jadi, enggak jadi apa-apa ini, yang jadi apa-apanya sedikit sekali," ujarnya.
Dia juga menyoroti belanja bantuan sosial (bansos) yang hanya tumbuh 51,7 persen, yakni pada 2014 di angka Rp97,9 triliun dan pada 2023 menjadi Rp148,6 persen. Pertumbuhan itu menurutnya terlampau rendah dibandingkan dengan pembayaran bunga utang.
Lebih miris lagi, lanjut Faisal, pemerintah menggunakan berbagai utang untuk keperluan dunia usaha, seperti melakukan injeksi ke BUMN. Lalu, APBN pun digunakan untuk subsidi biofuel, di mana penerima manfaat terbesar adalah korporasi, bukanlah para petani sawit.
"APBN ini digunakan untuk mensubsidi biofuel dari yang besar-besar itu, bukan mensubsidi petani sawit. Petani sawit cuma dapat 4 persen, biofuel dapatnya 74 persen. Memang rakyat dapat, tetapi dapatnya paling sedikit. Jadi, kemerdekaan ini ternyata dimanfaatkan oleh oligarki untuk memperbesar pundi-pundi mereka, sehingga tidak diragukan lagi, kasat mata yang namanya ketimpangan itu," kata Faisal.