Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Duh! Peringkat Indonesia soal Investasi Asing Langsung Turun, Kok Bisa?

Peringkat Indonesia terkait investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) versi UNCTAD turun.
Presiden Joko Widodo (tiga kanan) didampingi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia (tiga kiri), Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir (kiri), Bupati Batang Wihaji (empat kiri) dan jajaran menteri lainnya berbincang saat peninjauan Kawasan Industri Terpadu Batang dan Relokasi Investasi Asing ke Indonesia di Kedawung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020). /ANTARA
Presiden Joko Widodo (tiga kanan) didampingi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia (tiga kiri), Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir (kiri), Bupati Batang Wihaji (empat kiri) dan jajaran menteri lainnya berbincang saat peninjauan Kawasan Industri Terpadu Batang dan Relokasi Investasi Asing ke Indonesia di Kedawung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020). /ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia mencatatkan penurunan peringkat negara dengan foreign direct investment atau investasi asing langsung terbesar, yakni dari peringkat 15 pada 2020 menjadi posisi 20 pada 2021.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam World Investment Report 2022 mencatat, realisasi foreign direct investment (FDI) Indonesia pada tahun lalu senilai US$20 miliar. Angka tersebut sejatinya naik dibandingkan dengan realisasi pada tahun sebelumnya yang senilai US$19 miliar.

Namun, UNCTAD mencatat posisi Indonesia justru mengalami merosot lima peringkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan yang jauh lebh akseleratif negara-negara lain dalam menggaet investasi asing sepanjang tahun lalu.

“Arus masuk investasi asing di Asia berfokus pada China, Hong Kong, Singapura, India, dan Uni Emirat Arab,” tulis laporan UNCTAD yang dikutip Bisnis, Minggu (7/8/2022).

UNCTAD menuliskan bahwa Indonesia memang melakukan berbagai upaya reformasi struktural untuk membenahi ekosistem investasi. Namun, butuh waktu untuk meningkatkan efektivitas dari upaya tersebut terhadap aliran FDI atau investasi asing.

Apabila ditelusuri, penurunan daya saing investasi Indonesia menjadi kritik dari berbagai lembaga internasional. Institute for Management Development (IMD) dalam laporan berjudul World Competitiveness Yearbook 2022 menuliskan bahwa indeks daya saing kemudahan berusaha Indonesia berada di peringkat 44, turun dibandingkan dengan tahun lalu yang berada pada posisi 37.

Celakanya, indikator yang mencerminkan efisiensi birokrasi atau government efficiency  justru terpuruk ke posisi 35 pada tahun ini. Kondisi ini mengonfirmasi bahwa UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja nyatanya tak cukup tokcer memperbaiki birokrasi di dalam negeri.

Laporan itu mencatat, ada sejumlah kendala yang dihadapi Indonesia dalam memperbaiki ekosistem investasi atau kemudahan berusaha. Salah satunya adalah regulasi yang belum sepenuhnya menyokong perbaikan iklim bisnis.

Dalam kaitan daya saing investasi, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut ada tiga kendala penting yang dihadapi pemerintah. 

Pertama, persoalan tanah. Kedua, tumpang tindih aturan antara pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Ketiga, tingginya ego sektoral antara kementerian/lembaga (K/L).

“Dalam konteks pengelolaan investasi di Indonesia tidak cukup regulasi formal. Harus ada suatu gerakan-gerakan tambahan yang menyentuh pada pokok persoalan yang ada di lapangan,” kata Bahlil.

Hambatan investasi di dalam negeri memang cukup kompleks. Urusan birokrasi misalnya, hingga saat ini masih cukup berbelit. Kalangan pelaku usaha pun mengeluhkan banyaknya praktik ‘pingpong’ antarlembaga saat mengurus legalitas berusaha.

Setali tiga uang, perizinan juga tak lebih mapan. Sistem dalam jaringan (daring) yang diimplementasikan melalui Online Single Submission (OSS) Risk Based Approach (RBA) atau berbasis risiko, nyatanya belum terlaksana dengan baik di lapangan.  Pangkal persoalannya adalah masih tingginya ego sektoral antarkementerian dan lembaga, hingga antara pemerintah pusat dan daerah.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2021 bahkan menemukan 291.112 izin usaha yang terbengkalai akibat belum maksimalnya OSS RBA. Hal itu termasuk adanya investasi yang tidak bisa diproses dengan nilai mencapai Rp10,73 triliun.

Kendala di atas tak seberapa dibandingkan dengan mafia lahan. Tak bisa dimungkiri, hampir di setiap daerah terdapat kelompok-kelompok gelap yang berusaha mengamankan lahan yang hendak dipindahtangankan kepada pelaku usaha.

Dalam rangka mengurai benang kusut investasi dan meningkatkan daya saing di mata investor asing, pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah strategis. Terutama, mendesak pemerintah daerah (Pemda) untuk segera melengkapi perangkat administrasi yang terkoneksi langsung dengan OSS RBA.

Di antaranya adalah Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), yang hingga 12 April 2022 hanya terdapat 123 dari 508 pemerintah kabupaten/kota. Kemudian melengkapi digital map yang per Maret 2022 hanya terdapat 56 daerah, serta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang per Maret 2022 baru tersedia 70 RDTR dari total kebutuhan 2.000 RDTR di seluruh Indonesia.

Dalam kaitan mafia tanah, pemerintah telah membentuk satuan tugas (Satgas) khusus yang juga mencakup penanganan investasi mangkrak.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan dua jalur perbaikan ekosistem investasi. Artinya, sembari melakukan pembenahan dari sisi birokrasi dan regulasi pemerintah juga perlu menyusun daftar sektor prioritas yang berpotensi untuk dimasuki oleh investor asing.

“Kita harus menawarkan investasi yang strategis. Strategi investasi ini harus inline dengan program penghiliran industri,” ujarnya kepada Bisnis. .

Menurutnya, penghiliran industri perlu diprioritaskan lantaran mampu meningkatkan nilai ekspor nasional, yang juga memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Di tengah dampak resesi ekonomi Amerika Serikat (AS), kata Esther, pemerintah juga patut cerman dalam memanfaatkan peluang untuk menarik minat investor asing.

“Misalnya kita hanya punya bahan baku saja, produsen barang intermediate sampai barang final bisa undang investor asing,” kata dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper