Bisnis.com, JAKARTA- Tren penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) Nasional diminta harus diantisipasi pemerintah agar tidak terus bergulir. Pemerintah juga harus memperhatikan kenaikan biaya yang dikeluarkan oleh petani sebagai indikator kebijakan ke depannya.
Hal itu seiring dengan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait Nilai Tukar Petani (NTP) Juli 2022 sebesar 104,25 atau turun 1,61 persen dibanding NTP bulan sebelumnya.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian mengatakan indikator yang dilihat yakni kenaikan biaya konsumsi rumah tangga petani dan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Untuk biaya konsumsi rumah tangga, laporan BPS juga mencatat kenaikan inflasi Juli 2022 disumbang oleh kelompok makanan dan minuman.
“Presiden Joko Widodo baru-baru ini bahkan menyinggung perihal ancaman krisis multidimensi, di mana krisis pangan menjadi salah satunya. Hal ini tentunya perlu diantisipasi dengan cermat,” ujar Mujahid dalam keterangan tertulis, Kamis (4/8/2022).
Dia juga mengatakan laporan anggota SPI di berbagai wilayah menyebut pupuk menjadi faktor utama kenaikan produksi petani. Kata dia, petani dihadapkan pada posisi kesulitan akses untuk pupuk subsidi, sementara harga pupuk non-subsidi kini melonjak.
Di tingkat internasional, lanjut dia, kondisi serupa sudah dialami oleh negara-negara lain di dunia. Organisasi Pangan PBB, FAO, bahkan pada Maret 2022 lalu mencatat bahwa indeks harga pangan dunia mencapai level tertingginya..
Baca Juga
“Tidak terjangkaunya pangan pada akhirnya berujung pada peningkatan kelaparan. Di tingkat global, laporan SOFI [The State of Food Security and Nutrition in the World] 2022 menyebutkan angka kelaparan penduduk dunia mencpaai 828 juta orang pada tahun 2021, dan berpotensi bertambah 13 juta pada tahun 2022, dan bertambah lagi 19 juta pada tahun 2023,” ungkap Mujahid.
Terkait hal tersebut, dia menyebutkan pemerintah harus kembali ke prinsip-prinsip kedaulatan pangan sebagai dasar kebijakan pangan negara. Pemerintah belakangan ini sudah memonitor terus situasi pangan yang tidak stabil ini. Tetapi bagi SPI, ujar Mujahid, hal ini tidak cukup apalagi jika masih berdasarkan pendekatan ketahanan pangan.
“Ketahanan pangan sudah terbukti gagal mengatasi krisis pangan global di tahun 2008, mengapa justru kita lanjutkan lagi untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan ke depan? ”tegasnya.
Dia menilai pemerintah harus kembali ke Kedaulatan Pangan. Hajat hidup rakyat banyak terhadap pangan harus menjadi prioritas utama.
“Pemerintah dalam hal ini harus menjamin dan memastikan faktor-faktor produksi utama seperti akses atas tanah, air, kebebasan untuk memuliakan benih lokal, sampai paa akses terhadap pasar dan bantuan keuangan dinikmati secara utuh oleh petani dan produsen pangan," tuturnya.