Bisnis.com, JAKARTA — Pasar ekspor batu bara Indonesia dinilai memiliki peluang dari terhambatnya impor batu bara Uni Eropa dari Rusia, namun di sisi lain hal ini juga menimbulkan sejumlah tantangan.
“Pada satu sisi terdapat peluang peningkatan ekspor batu bara Indonesia ke pasar Uni Eropa, tapi di sisi lain terdapat ancaman menurunnya ekspor batu bara ke China yang mendapatkan diskon batu bara dari Rusia,” tulis Peneliti di Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI dalam laporannya yang dikutip Bisnis, Rabu (3/8/2022).
Berdasarkan data terakhir, pada Juni 2022, batu bara thermal yang diimpor dari Rusia ke Uni Eropa menurun 48 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini sejalan dengan blokade perdagangan yang dilakukan terhadap Rusia.
Meski Uni Eropa dalam proses transisi menuju pengurangan utilisasi batu bara dalam pembangkitan energi, namun tetap terdapat kebutuhan jangka pendek yang perlu dipenuhi.
Oleh karena itu, sebagai solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan batu bara, Uni Eropa harus mencari pemasok alternatif. Indonesia sebagai salah satu produsen utama batu bara thermal dunia ikut diuntungkan atas permintaan batu bara ini.
Tercatat, jumlah ekspor batu bara thermal Indonesia ke Eropa naik signifikan pada kuartal II/2022, sebesar 144 secara tahunan, dari US$78,4 juta menjadi US$191,2 juta.
Baca Juga
“Peningkatan ini masih belum mencerminkan potensi permintaan sepenuhnya dari negara-negara Uni Eropa. Permintaan dari negara-negara itu juga kemungkinan besar akan bertambah menjelang akhir tahun untuk menghadapi musim dingin,” tulis LPEM.
Namun demikian, peningkatan produksi batu bara secara besar-besaran pada tahun ini dinilai tidak mudah. Selain ketergantungan terhadap cuaca di daerah pertambangan, kelangkaan alat berat untuk peningkatan produksi dinilai masih menjadi tantangan. Selain itu, diperlukan juga waktu untuk menyediakan alat berat tersebut.
Sejalan dengan itu, Indonesia juga dinilai perlu mengantisipasi adanya risiko penurunan ekspor batu bara dari Indonesia ke China karena performa produksi domestik yang meningkat dan peningkatan impor dari Rusia yang mendiskon harga batu baranya.
Menghadapi situasi ini, pemerintah dinilai perlu melakukan beberapa langkah antisipasi. Pertama, meningkatnya peluang ekspor batu bara akibat krisis energi di Eropa tidak menjadikan batu bara sebagai komoditas utama dalam jangka panjang karena dapat menghambat perkembangan Indonesia dalam memenuhi target perubahan iklim.
Oleh karena itu, kebijakan optimalisasi produksi dan ekspor batu bara ini bersifat jangka pendek. Untuk jangka pendek, pemerintah dapat memberikan dukungan finansial demi mempercepat dan meningkatkan produksi batu bara.
Pasalnya, dengan iklim yang tidak menentu dan curah hujan yang tinggi, diperlukan intensifikasi modal untuk meningkatkan target produksi Indonesia tahun 2022.
Kedua, untuk mengatasi permasalahan terbatasnya peralatan tambang, pemerintah dinilai dapat memberikan kemudahan dan fasilitas fiskal untuk produsen peralatan tambang.
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan penyesuaian persyaratan DMO secara bersyarat, dimana perusahaan- perusahaan yang mampu meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan Uni Eropa dapat memperoleh keringanan DMO dengan tingkat tertentu dimana supply untuk kebutuhan domestik tetap terpenuhi.
“Dengan cara ini pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara penerimaan negara, pasokan batu bara dalam negeri dan pemanfaatan dari peningkatan kebutuhan batu bara global,” tulis LPEM.