Bisnis.com, JAKARTA - Necessity is the mother of invention. Pepatah masyhur gubahan Plato itu tepat mengilustrasikan upaya bank sentral yang tengah meracik ramuan mata uang digital (CBDC). Berbagai pemikiran dibenturkan untuk melahirkan CBDC pada komposisi terbaiknya: bebas risiko, berterima, dan sanggup menjalankan khitahnya sebagai alat pembayaran.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung menyebut CBDC punya peluang untuk menjadi alat tukar pada ekosistem terdesentralisasi (decentralized ecosystem). Yakni ekosistem berbasis teknologi yang saat ini dihuni oleh rupa-rupa entitas digital, mulai dari uang kripto (cryptocurrency), non-fungible token (NFT), hingga yang terbaru DeFi (decentralized finance).
Area abu-abu itu, jika tidak ingin dibilang ilegal, mesti diisi bank sentral sebagai pemilik mandat otoritas sistem pembayaran. Mengutip survei Bank for International Settlement (BIS), sekitar 86 persen bank sentral di dunia tengah berlomba-lomba mengeksplorasi, menguji coba, hingga membentuk purwarupa CBDC.
Lantas, bagaimana wujud mata uang digital masa depan itu? Seperti halnya uang kripto yang lahir dari luar rahim bank sentral, publik pun diberi kesempatan menjawab pertanyaan krusial itu lewat G20 TechSprint Initiative 2022. Serupa namanya, laga unjuk inovasi besutan BIS dan BI itu merupakan ajang sisi Presidensi G20 Indonesia 2022.
TechSprint, lebih dulu dikenal dengan sebutan Hack Marathon (Hackathon), ibarat kawah candradimuka para inovator untuk menawarkan solusi atas isu yang sedang hangat. Ada 100 tim dari 15 negara, termasuk Indonesia, yang menjadi peserta G20 TechSprint 2022. Mereka berkompetisi demi menjawab tiga tantangan utama penerbitan CBDC: efektivitas, inklusi keuangan, dan keterhubungan. Apakah ide pemenang G20 TechSprint 2022 akan diadopsi bank sentral? Jika menilik bentangan fakta, jawabannya boleh jadi.
Otoritas Keuangan (FCA) dan Bank Sentral Inggris, misalnya, telah mendanai dan mengadopsi ide pemenang TechSprint yang mereka selenggarakan pada 2017. Ide itu bernama Digital Regulatory Reporting (DRR), suatu inovasi untuk mendigitalisasi sistem pelaporan lembaga keuangan kepada regulator.
Baca Juga
Upaya serupa juga dilakukan Bank Sentral India (RBI). Per Maret 2022, mereka membuka pusat inovasi (innovation hub) untuk memfasilitasi ide inovasi seputar sektor keuangan dari pelaku industri dan akademisi.
Berkaca dari apa yang dilakukan otoritas keuangan dan bank sentral di Inggris dan India, maka harapan besar patut disematkan pada G20 TechSprint Initiative 2022. Ide inovasi terbaik bisa menjadi masukan yang sangat berharga bagi bank sentral dalam merumuskan rancang bangun CBDC. Malahan, bukan mustahil jika ide inovasi hasil TechSprint nantinya benar-benar akan digunakan.
Kendati berencana menerbitkan lembar putih (white paper) pengembangan rupiah digital pada akhir tahun, tetapi sesuai karakter dan perilaku bank sentral, BI akan tetap berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian. Jadi, tidak serta-merta ide inovasi dari para inovator TechSprint akan diadopsi. Tentu akan dicermati, didalami, dieksplorasi, dan dipelajari terlebih dahulu.
Yang jelas, desain CBDC tidak boleh mengganggu stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Syarat krusial yang hingga kini gagal dipenuhi uang kripto.Harus diakui, aset kripto, pada satu sisi, punya potensi meningkatkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan.
Data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) mengungkap, perdagangan aset kripto di Indonesia terus meningkat. Nilai transaksinya hingga April 2022 mencapai Rp167,1 triliun atau setara 1 persen Produk Domestik Bruto (PDB), dengan jumlah pelanggan mencapai angka 13,7 juta.
Namun, pada sisi lain, ketiadaan nilai fundamental intrinsik dan jaminan otoritas menyebabkan harga aset kripto rentan jatuh. Masih segar dalam ingatan kisah anjloknya harga LUNA Coin, token digital jaringan Terra, dalam waktu singkat. Dari harga tertingginya Rp1,7 juta pada 5 April 2022, menjadi hanya Rp59 atau hampir tidak bernilai dalam kurun waktu 38 hari.
Stablecoin, yang harganya digadang-gadang bakal stabil karena dipatok ke aset tertentu seperti mata uang resmi atau komoditas berharga, juga gagal memenuhi ekspektasi.
Sebagai contoh, TerraClassicUSD (USTC), stablecoin berjangkar dolar AS, kini nilainya jauh dibawah 1 dolar AS. Data Coinmarketcap, nilai USTC sempat menyentuh titik nadirnya di angka Rp93. Per 15 Juli 2022, nilai USTC hanya sekitar 500 perak.
Risiko instabilitas itulah yang melatari langkah bank sentral dalam menjajaki desain dan penerbitan CBDC. Sebagaimana uang fiat, CBDC sepenuhnya dijamin bank sentral, sehingga lebih aman dibanding jenis uang lainnya (Juhro, 2021). Dari kacamata moneter, CBDC akan mempercepat interaksi antara kegiatan ekonomi dan perubahan kebijakan moneter, lebih cepat daripada suku bunga acuan.
Berangkat dari kebutuhan (necessity) di atas, G20 TechSprint Initiative 2022 adalah wujud sinergi-kolaborasi bank sentral dan pelaku industri dalam menciptakan (inventing) desain terbaik CBDC. Sebab, memanfaatkan kemajuan teknologi secara optimal dan tetap relevan pada era digital harus menjadi jangkar strategi bank sentral dalam melangkah ke depan.