Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) mengatakan keberhasilan temuan cadangan minyak dan gas (migas) terbesar di dunia lewat eksplorasi Timpan-1 Blok Andaman II menunjukkan potensi lapangan yang masih besar di Indonesia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji membeberkan potensi sumber daya atau potential resources gas di blok Andaman terbilang tinggi dengan rata-rata temuan mencapai 6 triliun kaki kubik atau trilliun cubic feet (TCF) dari masing-masing blok yang dikembangkan.
Direktur Aspermigas Moshe Rizal mengatakan masih terdapat 70 cekungan Migas yang belum sepenuhnya rampung dieksplorasi. Adapun belakangan pemerintah memfokuskan pada lima kawasan yang terletak di Buton, Seram, Warin, Aru dan Timor yang terletak di timur Indonesia untuk eksplorasi cekungan.
“Itu menunjukkan banyak potensi yang terpendam di daerah entah di darat atau lepas pantai yang bisa dieksplorasi lebih lanjut,” kata Moshe saat dihubungi, Kamis (21/7/2022).
Lima area migas yang menjadi fokus pemerintah itu merupakan hasil survei seismik 2D sepanjang 32 kilometer di Wilayah Kerja (WK) Jambi Merang oleh PHE Jambi Merang sepanjang 32 kilometer yang berlangsung sejak 20 November 2019 dan selesai 3 Agustus 2020.
Survei seismik ini menjadi yang terpanjang di Asia Pasifik dalam kurun waktu 10 tahun dan mampu diselesaikan hanya dalam kurun waktu 261 hari. Survei tersebut mencakup 35 cekungan dari 128 cekungan yang ada di Indonesia yang terdiri atas 6 producing basin, 7 discovery basin, 5 explored basin dan sebanyak 17 lainnya merupakan cekungan baru atau unexplored basin yang belum pernah tersentuh sebelumnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Moshe meminta pemerintah untuk menekan biaya operasional pengembangan wilayah kerja minyak dan gas (WK Migas) menyusul momentum meningkatnya ketertarikan perusahaan Migas internasional untuk kembali berinvestasi di Indonesia.
Dia mengatakan ongkos operasional lapangan Migas di Indonesia relatif lebih mahal dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan beberapa negara produsen lain. Konsekuensinya, harga jual Migas yang diproduksi di Indonesia tidak kompetitif dibandingkan dengan produk negara kompetitor.
“Kalau biaya operasional di Indonesia itu lebih mahal dibandingkan biaya investasi di negara lain itu akan menjadi pertimbangan sangat kuat,” kata dia.