Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IMF Akan Turunkan Lagi Proyeksi Ekonomi Global dalam Dua Pekan

IMF sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dua kali sepanjang tahun ini.
Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva (tengah) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (kiri), serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno berkunjung ke pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta, Minggu (17/7/2022). /Bisnis-Wibi Pangestu.
Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva (tengah) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (kiri), serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno berkunjung ke pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta, Minggu (17/7/2022). /Bisnis-Wibi Pangestu.

Bisnis.com, JAKARTA — International Monetary Fund atau IMF akan merevisi kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi global dalam dua pekan ke depan, akibat inflasi yang semakin meningkat dan harga komoditas tetap tinggi.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva ketika berkunjung ke pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta, Minggu (17/7/2022). Dia hadir bersama Menteri BUMN Erick Thohir serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno.

Georgieva menjelaskan bahwa pihaknya sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dua kali sepanjang tahun ini. Awalnya, proyeksi IMF soal pertumbuhan ekonomi global 2022 ada di angka 4,9 persen, tetapi kemudian diervisi menjadi 4,4 persen, dan pada April 2022 turun lagi menjadi 3,6 persen.

"Sejak awal tahun ini, kami sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dua kali, dan kami akan menurunkannya sekali lagi dalam dua pekan," ujar Georgieva pada Minggu (17/7/2022).

Dia menyatakan bahwa alasan pertama adalah besarnya dampak dari gangguan supply chain tahun ini. Hambatan utama terjadi karena pandemi Covid-19 seperti yang ada di China, lalu cukup terpengaruh oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina, sehingga menyebabkan inflasi.

Kedua, perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan tekanan yang tinggi terhadap harga komoditas. Di satu sisi, hal itu memang menguntungkan negara eksportir seperti Indonesia, tetapi menurut Georgieva hal itu memberi beban bagi banyak negara, termasuk kepada Indonesia sendiri karena tekanan inflasi.

Ketiga, kenaikan inflasi menyebabkan bank sentral memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga. Tingginya pinjaman selama Covid-19 untuk kepentingan pemulihan bisa menimbulkan tekanan ketika suku bunga terus menanjak.

"Bagi negara dengan tingkat utang yang tinggi, terutama dalam denominasi dolar, naiknya nilai tukar dolar akan mendorong mereka ke kondisi default," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper