Bisnis.com, JAKARTA — Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung menyampaikan bahaya jika Indonesia menunda implementasi ekonomi hijau dan menjaga lingkungan melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Jika dikuantifikasikan, kata Juda, biaya akibat cuaca ekstrem dapat mencapai 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2050. Namun, jika dilakukan mitigasi saat ini, sesuai dengan komitmen pemerintah dalam Paris Agreement, maka biaya tersebut dapat berkurang hanya menjadi 4 persen dari PDB.
“Dari aspek ekonomi dan keuangan, jika kita tidak segera bergegas melakukan berbagai kebijakan untuk menuju ekonomi hijau, maka dampaknya ke ekonomi dan sistem keuangan sangat signifikan,” katanya dalam acara Side Event Presidensi G20 Indonesia bertemakan ‘Scaling Up Green Finance in Indonesia’, Jumat (15/7/2022).
Juda menjelaskan jika ekonomi hijau tidak segera diimplementasikan, maka Indonesia ke depan berpotensi kehilangan kesempatan ekspor karena adanya hambatan pada produk ekspor yang tidak memenuhi persyaratan standar hijau.
Lebih lanjut, Indonesia menurutnya akan kehilangan momentum investasi. Investasi hijau, seperti mobil listrik akan beralih ke negara lain yang telah memiliki kebijakan yang jelas, salah satunya aturan mengenai industri karbon.
“Ekspor kita juga tidak kompetitif karena semakin mahal akibat ada pajak karbon dari negara pengimpor,” imbuhnya.
Baca Juga
Selain itu, akses kepada keuangan global juga menjadi lebih terbatas, sejalan dengan preferensi investor keuangan yang semakin besar terhadap sektor keuangan hijau.
Oleh karena itu, dia mengatakan BI turut memberikan perhatian yang besar ke isu implementasi ekonomi hijau.
"Karena dampaknya ke stabilitas moneter cukup besar. Kalau ekspor turun, dampaknya ke transaksi berjalan. Kemudian pada akses keuangan global akan berdampak ke stabilitas moneter dan sistem keuangan,” kata Juda.