Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani: APBN Tidak Kuat Biayai Pengurangan Emisi Karbon

Kebutuhan dana untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia yang mencapai Rp3.500 triliun, sedangkan nilai APBN saat ini hanya berkisar Rp3.000 triliun.
Menkeu Sri Mulayani mengatakan APBN tidak akan kuat membiayai seluruh upaya menurunkan emisi karbon. /ilmupengetahuan.org
Menkeu Sri Mulayani mengatakan APBN tidak akan kuat membiayai seluruh upaya menurunkan emisi karbon. /ilmupengetahuan.org

Bisnis.com, JAKARTA — Anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN tercatat tidak mampu memenuhi kebutuhan dana untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia yang mencapai Rp3.500 triliun. Nilai APBN saat ini hanya berkisar Rp3.000 triliun, sehingga terdapat selisih cukup besar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pengurangan emisi karbon harus tetap berjalan karena krisis iklim akan membawa dampak yang serius, baik terhadap kemanusiaan maupun perekonomian. Masalahnya, keuangan negara tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dana itu.

"Kebutuhan biayanya sangat mengejutkan, US$243 miliar hanya untuk [pengurangan emisi karbon di sektor pembangkit] listrik. Atau, jika ingin menempatkannya dalam rupiah, itu Rp3.500 triliun. APBN kita sekitar Rp3.000 triliun, untuk memberikan konteks," ujar Sri Mulyani dalam forum bisnis Sustainable Finance: Instrument and Management in Achieving Sustainable Development of Indonesia, Rabu (13/7/2022).

Biaya terbesar dibutuhkan untuk pengurangan 446 juta ton CO2 di sektor energi, khususnya pembangkit listrik, agar emisi karbon dapat turun hingga 41 persen. Tantangannya, Sri Mulyani menyebut bahwa konsumsi listrik akan terus meningkat seiring terus berkembangnya perekonomian Indonesia.

Menurut Sri Mulyani, berkembangnya perekonomian membuat masyarakat mampu memiliki hunian serta berbagai perangkat elektronik di dalamnya. Lalu, usaha akan berkembang sehingga penggunaan listrik pun akan meningkat dan akhirnya permintaan terhadap energi akan terus bertambah.

"Tantangannya bagi PLN, sebagai perusahaan BUMN monopoli, bagaimana memproduksi lebih banyak listrik dengan lebih sedikit emisi CO2?" kata Sri Mulyani.

Dia menyebut bahwa perlu adanya uang, teknologi, dan kebijakan yang memungkinkan pembiayaan termobilisasi ke transisi energi hijau. Namun, hal tersebut tidak hanya bisa terealisasi melalui keuangan negara—yang jumlahnya jelas kurang—sehingga perlu adanya sumber dana lain.

"Pemerintah memainkan peranan penting, tetapi bukan hanya menjadi sumber tunggal. Peran sektor swasta, lembaga internasional menjadi sangat penting," kata Sri Mulyani.

Sebelumnya, pemerintah telah menghitung kebutuhan biaya untuk menekan emisi karbon pada 2018 hingga 2030 sesuai dokumen Second Biennial Update Reports (2nd BUR) 2018. Hasil perhitungannya, Indonesia membutuhkan dana Rp3.461 triliun untuk menurunkan emisi karbon sesuai target per 2030.

Perhitungannya diperbaharui melalui Nationally Determined Contributions (NDC) dengan masuknya aspek strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050), untuk pencapaian net zero emission pada 2060 atau lebih awal. Kebutuhan dananya mencapai Rp3.779 triliun atau Rp343,6 triliun per tahunnya.

Kebutuhan dana tersebut ternyata meningkat pesat berdasarkan perhitungan dalam dokumen Climate Change Fiscal Framework. Pemerintah memperhitungkan kebutuhan biaya untuk investasi di berbagai sisi, mulai dari hulu, antara, hingga hilir dari sejumlah sektor.

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto menjelaskan bahwa kebutuhan dana sesuai dokumen Climate Change Fiscal Framework adalah Rp28.223 triliun untuk mencapai target 2060. Sayangnya, Indonesia baru mampu memenuhi 34 persen kebutuhan dana setiap tahunnya.

"Kalau bicara total kebutuhan dari net zero emission 2060 or sooner, itu hampir tujuh kali lipat dibandingkan dengan NDC 2030," ujar Joko yang menjadi pembicara di webinar bertajuk Tantangan Sektor Kelistrikan dalam Transisi Energi, yang diselenggarakan Bisnis Indonesia pada Kamis (9/6/2022).

BKF merinci bahwa kebutuhan dana terbesar berasal dari sektor energi dan transportasi, yakni mencapai Rp26.601,3 triliun. Angka itu merupakan akumulasi kebutuhan dana dari saat ini hingga 2060, untuk menekan emisi karbon sektor energi dan transportasi di sisi hulu, antara, hingga hilir.

Di posisi kedua terdapat kebutuhan dana untuk sektor pengolahan sampah, yakni mencapai Rp829,8 triliun. Selanjutnya, terdapat sektor proses industri dan penggunaan produk (industrial processes and product use/IPPU) dengan kebutuhan dana mencapai Rp730,8 triliun.

Penurunan emisi karbon di sektor kehutanan tercatat membutuhkan dana hingga Rp70,14 triliun. Kemudian, sektor agrikultur mencatatkan kebutuhan dana Rp1,44 triliun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper