Selain itu, tantangan pemenuhan kapasitas kapal nasional Indonesia juga berasal dari sisi peremajaan. Berdasarkan publikasi UNCTAD tahun 2021, rata-rata usia kapal yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Indonesia lebih tua dua tahun dari rata-rata usia kapal dunia.
Tentunya rata-rata tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan rata-rata usia kapal berbendera Indonesia karena kapal berbendera asing pada dasarnya juga dapat berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Indonesia.
Namun, mengingat Indonesia menganut hukum cabotage, maka ada kecenderungan kapal-kapal yang berlabuh di Indonesia adalah kapal-kapal berbendera Indonesia.
Lebih jauhnya, risiko defisiensi yang ditimbulkan dari usia kapal juga berpotensi menyebabkan detensi kapal Indonesia di pelabuhan- pelabuhan negara lain. Terutama negara penganut rezim PSC Tokyo MoU.
Pasalnya, Indonesia telah tergabung dalam rezim ini dan berhasil masuk ke zona white list pada 2020. Sehingga bisa berhasil meningkatkan kepercayaan pemilik kargo untuk mengirimkan barangnya menggunakan kapal- kapal berbendera Indonesia.
Oleh karena itu, upaya pemenuhan kapasitas kapal nasional menuju tahun 2045 juga perlu mempertimbangkan aspek usia kapal sehingga sekaligus dapat mengurangi risiko detensi dan memperlancar arus perdagangan.
Baca Juga
Kecenderungan kapal-kapal nasional berusia tua di antaranya disebabkan oleh belum kondusifnya iklim investasi perkapalan di Indonesia dan masih tingginya hambatan pembiayaan perbankan. Perusahaan-perusahaan pelayaran di Indonesia masih cenderung memilih berinvestasi kapal dengan memanfaatkan akses dari luar negeri, misalnya Jepang.
Namun, tidak semua perusahaan pelayaran dapat melakukan hal ini. Perusahaan-perusahaan skala kecil cenderung tidak memiliki akses yang serupa sehingga cenderung memilih untuk membeli kapal bekas dengan usia yang tua namun relatif murah.
Dalam rangka mempersiapkan kapasitas kapal nasional untuk mencapai target Visi Indonesia 2045, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk membuat ekosistem khusus industri maritim di mana di dalamnya terdapat perlakuan khusus pada aspek perpajakan, importasi barang, dan pembiayaan untuk industri maritim.
Misalnya, terkait investasi kapal yang beroperasi untuk lintas negara dan berpotensi mendatangkan devisa dapat dipertimbangkan untuk diberikan tambahan kemudahan dari sisi investasi maupun pembiayaan.
Dia juga berpendapat pemerintah bisa mempertimbangkan untuk memberikan insentif khusus dalam hal kemudahan berinvestasi kapal berdasarkan jenis penggunaan domestik atau luar negeri.
Selain itu, Pemerintah juga dapat bekerjasama dengan perbankan untuk mempertimbangkan skema penjaminan lainnya yang memiliki nilai kolateral serupa seperti yang dilakukan perbankan di Jepang, sehingga dapat memudahkan industri pelayaran dan perkapalan untuk mengajukan pinjaman.
Kemudahan dalam berinvestasi dan memperoleh pembiayaan ini nantinya secara tidak langsung akan mendukung pembentukan jumlah kapal nasional yang memiliki usia relatif lebih muda.