Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kendalikan Lonjakan Inflasi, Sri Lanka Kerek Suku Bunga Acuan Jadi 15,5 Persen

Bank Sentral Sri Lanka menaikkan suku bunga fasilitas pinjaman sebesar 100 basis poin guna menekan inflasi yang mencapai 54,6 persen dan menyeret negara dalam kebangkrutan.
Sri Lankan saat pembatasan sosial selama pandemi Covid-19/Bloomberg
Sri Lankan saat pembatasan sosial selama pandemi Covid-19/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Sri Lanka menaikkan suku bunga acuan dalam upaya untuk mengendalikan lonjakan inflasi yang mencapai nyaris 60 persen.

Dilansir Bloomberg, Bank Sentral Sri Lanka menaikkan suku bunga fasilitas pinjaman sebesar 100 basis poin menjadi 15,5 persen pada hari Kamis (7/7/2022). Enam dari tujuh ekonom dalam survei Bloomberg memperkirakan kenaikan mulai dari 50 basis poin hingga 300 basis poin, sementara satu memperkirakan akan bertahan.

"Dewan berpandangan bahwa pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut akan diperlukan untuk menahan peningkatan ekspektasi inflasi yang merugikan," kata bank sentral dalam sebuah pernyataan, dikutip Bloomberg, Kamis (7/7).

Keputusan ini diambil setelah Sri Lanka mencatatkan rekor inflasi pada bulan Juni karena cadangan devisa yang menipis dengan cepat. Inflasi Sri Lanka mencapai 54,6 persen pada Juni 2022.

Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada parlemen bahwa tingkat inflasi akan mencapai 60 persen dalam beberapa bulan mendatang di tengah kenaikan harga komoditas dan penurunan mata uang.

Sebelum keputusan hari ini, bank sentral Sri Lanka telah menaikkan suku bunga sebesar 850 basis poin sejak awal tahun, bahkan ketika ekonominya berkontraksi pada kuartal pertama, menandai awal dari resesi yang menyakitkan dan panjang bagi negara itu.

PM Ranil Wickremesinghe sebelumnya mengatakan negaranya kini bangkrut dan tekanan dari krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Warga pun kesulitan mencari bahan bakar untuk sehari-hari hingga harus menggunakan kayu bakar untuk memasak.

Wickremesinghe mengatakan negara yang pernah makmur itu akan mengalami resesi yang dalam tahun ini dan kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan akan terus berlanjut.

"Kami juga harus menghadapi kesulitan pada 2023. Inilah kebenarannya. Inilah kenyataannya," ungkapnya, dikutip Rabu (6/7/2022).

Bank sentral mengatakan kegiatan ekonomi dalam negeri selama kuartal kedua 2022 diperkirakan akan sangat terpengaruh oleh gangguan sisi pasokan yang terus berlanjut, terutama karena kekurangan listrik dan energi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper