Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Agus Herta Sumarto

Peneliti di Indef

Agus Herta Sumarto adalah peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Dia juga menjadi dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Mercu Buana Jakarta

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Dilema Menahan Laju Inflasi

Perang Rusia–Ukraina menambah runyam kondisi perekonomian global dan nasional, hingga menimbulkan efek terhadap beberapa komoditas perdagangan dunia.
Pedagang melayani pembeli di Pasar Karbela, Jakarta, Senin (9/5/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95 persen month on month (mom) atau secara tahunan sebesar 3,47 persen year on year (yoy) yang disebabkan kenaikan harga minyak goreng, daging ayam ras dan telur ayam ras. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Pedagang melayani pembeli di Pasar Karbela, Jakarta, Senin (9/5/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95 persen month on month (mom) atau secara tahunan sebesar 3,47 persen year on year (yoy) yang disebabkan kenaikan harga minyak goreng, daging ayam ras dan telur ayam ras. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Bisnis.com, JAKARTA - Seorang ibu rumah tangga setengah baya di pinggiran Jakarta masih harus mengantre untuk mendapatkan jatah pembelian minyak goreng curah dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

Walaupun harga minyak goreng sudah mulai turun, si ibu harus tetap antre untuk mendapatkan minyak goreng curah yang harganya lebih murah. Hal ini dilakukan karena harga kebutuhan pokok lainnya naik di tengah penurunan harga minyak goreng. Daging ayam, telur ayam, daging sapi, tahu, dan tempe berada dalam antrean daftar bahan pokok yang harganya naik.

Dalam waktu yang hampir berdekatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi Juni mencapai 0,61 persen. Angka ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 0,4 persen. Pengumuman dari BPS pada 1 Juli seolah-olah menjadi peringatan bahwa jalan terjal masih akan mengadakan pemulihan ekonomi Indonesia pada sisa tahun ini.

Selain pandemi Covid-19 yang masih belum usai, perang Rusia–Ukraina menambah runyam kondisi perekonomian global dan nasional. Perang tersebut telah menimbulkan efek, terhadap harga beberapa komoditas perdagangan dunia.

Sampai dengan akhir Juni (year-to-date/YtD), secara berturut-turut harga gas alam telah naik sekitar 80 persen, batu bara 158,6 persen, dan minyak bumi (Brent) 51,6 persen. Harga komoditas pangan juga naik signifikan, di antaranya gandum 19,7 persen, kedelai 14,3 persen, dan jagung 21,2 persen. Adapun, harga minyak sawit mentah (CPO) mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu 10,2 persen dibanding harga pada awal Januari.

Kenaikan beberapa harga komoditas esensial tersebut telah mengerek tingkat inflasi di luar ekspektasi awal. Tingkat inflasi yang diharapkan berada pada kisaran angka 3 persen tahun ini, diperkirakan akan tembus lebih dari 4,2 persene. Bahkan menurut catatan BPS, sampai dengan Juni, tingkat inflasi tahun kalender mencapai 3,19 persen. Lebih parahnya, inflasi tersebut berjenis cost push inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga input produksi yang sifatnya mengganggu aktivitas dan produktivitas perekonomian.

INFLASI GANDA

Inflasi yang terjadi sepanjang 2022 terasa jauh lebih berat dan lebih dalam. Selain karena berlangsung pada waktu yang tidak tepat, inflasi berasal dari dua sumber sekaligus. Di samping karena kenaikan harga komoditas, inflasi juga disebabkan oleh fenomena mismatch antara sisi permintaan dan penawaran dalam negeri.

Proses pemulihan ekonomi yang terjadi di sisi permintaan jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses pemulihan di sisi penawaran. Seiring dengan kasus harian Covid-19 yang mulai melandai dan pembatasan aktivitas masyarakat yang mulai dilonggarkan, aktivitas ekonomi di sisi permintaan melonjak tajam. Konsumsi masyarakat naik, menciptakan ekses permintaan (excess demand) yang mendorong kenaikan harga barang dan jasa.

Di sisi lain, efek inflasi terasa melebar dan membesar karena terjadi ketika kondisi ekonomi belum pulih secara ideal, dengan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja masih belum optimal.

Efek inflasi ganda yang terjadi saat ini telah menjadi virus terbesar yang mengadang kinerja ekonomi paling tidak sampai akhir tahun ini. Magnitude efek inflasi yang besar saat ini membutuhkan penanganan serius dan komprehensif, melibatkan seluruh otoritas kebijakan, alias tidak bisa hanya mengandalkan fungsi dan peran Bank Indonesia (BI) yang selama ini menjadi penjaga gawang stabilitas nilai tukar rupiah. BI tidak akan mampu meredam efek inflasi ganda seorang diri.

Inflasi yang terjadi saat ini lebih banyak bersumber dari sektor riil dan gejolak geopolitik global yang lebih banyak berada di luar kewenangan BI. Kinerja di sisi penawaran yang mandek akibat efek ketakutan (scarring effect) dan harga komoditas global yang melambung lebih banyak membutuhkan asupan dari sisi fiskal. Kebijakan fiskal harus benar-benar mampu menjalankan peran dan fungsinya, terutama sebagai ‘peredam kejut (shock absorber)’ gejolak ekonomi.

Namun, meredam efek inflasi ganda ini tidaklah murah. Pada Mei, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus meng­ajukan anggaran tambahan dalam APBN yang jumlahnya sangat besar, terutama untuk menambal dana subsidi dan kompensasi. Alokasi dana subsidi dan kompensasi membengkak dari yang awalnya hanya Rp152,5 triliun menjadi Rp291 triliun atau naik lebih dari 190 persen.

Harapan mendapatkan berkah dari ‘booming’ kenaikan harga CPO pun sirna seiring dengan kenaikan dana subsidi dan kompensasi tersebut. Akibat dari perubahan ini, maka celah fiskal kembali sempit dan beban fiskal kembali berat. Kedua efek tersebut pada akhirnya bermuara pada risiko fiskal yang meningkat.

Bagi pemerintah, kenaikan risiko fiskal bukanlah pilihan yang baik. Dalam celah yang sempit dan beban yang besar, maka sulit bagi pemerintah untuk melakukan manuver fiskal ketika gejolak ekonomi kembali terjadi dan ketidakpastian kembali meningkat. Oleh karena itu, meredam efek negatif inflasi saat ini ibarat suatu dilema. Pemerintah harus memilih antara kondisi fiskal yang sehat dan kuat sehingga mampu menghadapi tantangan yang makin besar ataukah mengorbankan kepentingan sebagian masyarakat.

Pilihannya tentu tergantung dari arah keberpihakan pemerintah saat ini: membuat fiskal yang jauh lebih kuat dan dalam waktu bersamaan membuat pola baru pembagian subsidi ataukah tetap mempertahankan subsidi untuk semua lapisan masyarakat dengan mengorbankan kekuatan fiskal.

Akhirnya, ingatan kembali pada si ibu paruh baya yang antre minyak goreng serta lagu dari Franky Sahilatua dan Iwan Fals yang berjudul Orang Pinggiran.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper