Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berpotensi melambat pada tahun ini, terutama disebabkan oleh kondisi ketidakpastian yang tinggi dari sisi global.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo usai Rapat Dewan Gubernur Juni 2022 menyampaikan terdapat tiga risiko yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi global akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Tiga risiko tersebut diantaranya masih berlanjutnya perang Rusia dan Ukraina yang disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas, pengetatan kebijakan moneter the Fed yang berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi, serta perlambatan ekonomi di China akibat implementasi kebijakan Zero Covid-19.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menyampaikan perlambatan pertumbuhan ekonomi global atau terjadinya stagflasi tentunya akan berdampak pada sektor perdagangan di Indonesia.
Menurunnya permintaan global akan memperlambat kinerja ekspor Indonesia. Di sisi lain, kata Riefky, biaya impor pun akan menjadi lebih mahal dikarenakan pengetatan suku bunga the Fed yang menyebabkan terjadinya depresiasi rupiah.
“Mahalnya harga impor juga sudah direfleksikan dari tekanan inflasi di berbagai harga komoditas, terutama energi, tapi di energi ini pemerintah menambah subsidi dan kompensasi sehingga kenaikan inflasi tertahan,” katanya kepada Bisnis, Minggu (27/6/2022).
Baca Juga
Di samping itu, Riefky mengatakan hal lain yang perlu diwaspadai Indonesia adalah peningkatan inflasi yang sudah sangat tinggi di banyak negara.
“Di Indonesia meski belum mencapai level overheating, tapi sudah merangkak naik, ini yang perlu diantisipasi pemerintah di semester kedua 2022 dan 2023,” jelasnya.
Jika terjadi inflasi pun, diharapkan kenaikan inflasi tidak terlalu cepat, sehingga pengetatan moneter di dalam negeri tidak terlalu tinggi. Dengan demikian, proses pemulihan ekonomi pada tahun ini tidak terganggu.
“Kondisinya berbeda dari beberapa negara lain di seluruh dunia, yang pemulihan ekonominya sudah terjadi, baru inflasi tinggi, sehingga ketika dilakukan pengetatan moneter, konsumsinya sudah pulih. Sementara Indonesia belum sampai di tahap pulih. Pemulihan ekonomi baru terjadi sejak awal 2022, negara lain sudah sejak 2021,” kata Riefky.
Dia menambahkan, risiko lain yang perlu diantisipasi adalah kenaikan harga komoditas, termasuk komoditas pangan.
“Ini jangan sampai mengganggu daya beli masyarakat miskin dan rentan sehingga pada kondisi tertentu nanti pemerintah perlu menambah subsidi lagi atau jaring pengaman sosial,” tuturnya.
Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga perlu terus didorong, yang disertai dengan pengelolaan utang yang harus dijaga secara berhati-hati, sehingga target defisit APBN kembali di bawah level 3 persen tercapai pada 2023.
“Dengan naiknya suku bunga secara simultan, beban utang akan lebih besar ke APBN, jadi ini yang perlu terus dijaga pemerintah dalam beberapa waktu ke depan,” kata Riefky.