Bisnis.com, JAKARTA - Besarnya anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk kebutuhan energi pada saat meningkatnya harga komoditas dinilai dapat dibendung dengan penyelauran yang lebih tepat sasaran kepada masyarakat.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan langkah pemerintah mengalokasikan dana Rp500 triliun untuk subsidi energi dan dana kompensasi jelas tidak percuma. Hal itu dapat sangat membantu percepatan pemulihan konsumsi rumah tangga dan jaga stabilitas inflasi.
Namun, lanjut Bhima, pendistribusian subsidi tersebut harus bisa lebih diperketat. Perbaikan data demi memastikan penyaluran subsidi tepat sasaran jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah.
Bhima menyatakan subsidi bisa lebih tepat sasaran kuncinya ada pada integrasi data kependudukan dengan data kendaraan. Kriteria penduduk yang rentan dan miskin sudah ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), namun itu belum sinkron dengan data kendaraan bermotor.
“Kalau ada sisa belanja karena BBM-nya disubsidi, orang miskin bisa beli keperluan sekolah anak, misalnya. Ini sangat membantu menjaga daya beli terlebih saat ini ancaman dari kenaikan harga pangan terjadi," ujarnya dalam keterangan resminya, Senin (27/6/2022).
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menuturkan bahwa secara konsep subsidi seharusnya untuk membantu peningkatan daya beli masyarakat. Namun untuk subsidi BBM, tidak sepenuhnya tepat.
Baca Juga
Komaidi menyebutkan subsidi telah menggerakkan ekonomi nasional, meskipun tidak sepenuhnya. Subsidi menjadi katalis ekonomi, terutama subsidi untuk angkutan umum dan barang.
Mekanisme yang dipilih dalam pemberian subsidi seharusnya menggunakan subsidi langsung sehingga bisa tepat sasaran. Penerapan subsidi langsung lebih memungkinkan masyarakat relatif siap.
“Saya melihat kuncinya justru ada pada kesiapan pemerintah,” ungkapnya.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti menilai pada saat krisis ekonomi subsidi sangat membantu konsumsi BBM sebesar 20 persen--30 persen terhadap kelompok pendapatan menengah ke bawah. Namun dalam situasi normal, subsidi tidak baik bagi perekonomian karena akan meningkatkan shifting ke konsumsi energi dibawah keekonomian.
Menurutnya, apabila subsidi semakin besar maka total konsumsi yang seharusnya terjadi diversifikasi penggunaan BBM yang lebih baik, masyarakat cenderung akan mengkonsumsi energi dengan subsidi dengan emisi yang lebih kotor yang kualitas lingkungannya lebih rendah.
Dia memaparkan, dana subsidi dan kompensasi yang mencapai Rp500 triliun bisa digunakan untuk pembangunan di berbagai sektor. Anggaran senilai Rp500 triliun dapat dibangun ruas tol baru sepanjang 3.501 km dengan biaya investasi Rp142,8 miliar per km.
Selain itu, dana senilai itu juga bisa untuk membangun sekolah dasar 227.886 unit dengan biaya Rp2,19 miliar per unit, membangun 41.666 puskesmas baru dengan biaya Rp12 miliar per puskemas, dan rumah sakit (RS) skala menengahsebanyak 3.333 unit RS baru seharga Rp150 miliar per unit.
“Subsidi BBM juga akan mengurangi share pembiayaan untuk sektor yang lebih penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang lebih urgen,” jelasnya.