Bisnis.com, JAKARTA - Regulasi pelabelan Bisfenol A (BPA) pada kemasan galon dinilai tidak perlu disikapi secara berlebihan apalagi sampai membuat industri depot air minum cemas.
Epidemiolog FKM Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan potensi bahaya bahan kimia BPA pada kesehatan dan keselamatan publik merupakan sesuatu yang nyata dan kalangan industri justru perlu mengedukasi masyarakat.
"BPA kan fungsinya menjadikan plastik keras dan jernih [tembus pandang], namun sayangnya bisa berpindah ke makanan atau minuman. Banyak penelitian menunjukkan kandungan BPA sudah ditemukan di cairan kemih dan pada binatang. Ini berbahaya, " katanya lewat rilis yang diterima, Jumat (24/6/2022).
Menurut Pandu, kekhawatiran terkait bahaya BPA adalah sifatnya global dan bisa diukur dari regulasi ketat di banyak negara, di mana kemasan pangan tidak diperbolehkan lagi menggunakan wadah yang mengandung BPA.
"Di beberapa negara bahkan ada kewajiban pelabelan Free BPA (Bebas BPA), tujuannya untuk edukasi masyarakat," katanya.
Sekadar informasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kini tengah merampungkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA.
Mendominasi pasar, produsen galon jenis tersebut nantinya diwajibkan untuk mencantumkan label peringatan Berpontensi Mengandung BPA terhitung tiga tahun sejak aturan disahkan.
"Tujuan pelabelan BPA semata melindungi masyarakat. Jadi industri tak perlu berlebihan dalam bersikap," katanya.
Penelitian dan riset mutakhir menujukkan BPA bisa menimbulkan gangguan hormon kesuburan pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan jantung, penyakit ginjal, kanker hingga gangguan perkembangan anak
Sebelumnya, Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM, Rita Endang menyatakan rancangan regulasi pelabelan BPA untuk tahap awal hanya menyasar produk galon guna ulang. Menurutnya, sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek.
Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET (Polietilena tereftalat)," kata Rita menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. "Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang."
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Sofyan S. Panjaitan berpendapat semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA.
"Memang sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via Label dan Iklan Pangan," katanya.
Dia sendiri berharap regulasi BPA nantinya bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik. Perbaikan tersebut, menurutnya, bisa berupa kewajiban pencantuman logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang tanpa terkecuali.
Selain itu, dia menyarakan perlunya penambahan label dengan redaksi ‘Pilih Kemasan Plastik yang Aman Digunakan’ atau yang senada serta pencantuman barcode yang memuat beragam informasi produk, termasuk masa berlaku, jenis kemasan dan produsen.
Apdamindo, lanjut Budi, mengantisipasi peningkatan kepedulian konsumen akan keamanan produk dengan ikut mensosialisasikan kebijakan pemerintah soal bahaya BPA pada galon berbahayan plastik polikarbonat. "Karena ini terkait dengan kebiasaan masyarakat, tentunya perlu waktu untuk berubah," pungkasnya.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) menyatakan mendukung regulasi pelabelan BPA. Menurut Ketua Bidang Program Keberlanjutan dan Dampak Kontribusi Sosial Gapmmi, Arief Susanto, organisasinya ikut memberi masukan pada BPOM terkait regulasi pelabelan BPA.
"Prinsipnya kami percaya pemerintah dalam menentukan kebijakan selalu mempertimbangkan berbagai hal, termasuk memberikan perlindungan bagi daya saing dan pertumbuhan industri dan sekaligus memberi perlindungan pada konsumen terkait keamanan pangan," katanya.