Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan mengaku sedang mempertimbangkan penundaan implementasi pajak karbon, dari yang semestinya berlaku 1 Juli 2022. Ruang penundaan ini terkait penyusunan peraturan terkait pajak karbon yang masih belum rampung meski waktu tersisa satu pekan sebelum tenggat.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa pihaknya bersama kementerian dan lembaga lain masih terus mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon. Pengenaan pajak itu bukan hanya menjadi tupoksi dari Kementerian Keuangan.
Payung regulasi implementasi pajak itu sudah terbit sejak tahun lalu, yakni melalui Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mengamanatkan implementasi pajak karbon pada 1 April 2022, kemudian tertunda menjadi 1 Juli 2022. Namun, karena aturan turunannya belum siap, kemungkinan implementasi itu akan ditunda kembali.
"Dengan kondisi saat ini pemerintah mempertimbangkan untuk me-review kembali pemberlakuan pajak karbon pada 1 Juli 2022 ini," ujar Febrio dalam konferensi pers APBN KITA, Kamis (23/6/2022).
Menurutnya, aturan turunan dari UU HPP terkait pajak karbon harus mempertimbangkan Nationally Determined Contribution (NDC), atau komitmen setiap negara terhadap Perjanjian Paris dalam hal penanganan krisis iklim dan emisi karbon. Lalu, aturan itu harus mempertimbangkan kesiapan sektor dan kondisi perekonomian.
Febrio menggarisbawahi pertimbangan kondisi perekonomian, karena menurutnya di tengah gejolak global Indonesia perlu mengantisipasi berbagai variabel secara hati-hati. Hal tersebut menurutnya menjadi pertimbangan cukup besar kenapa implementasi pajak karbon belum kunjung siap.
Baca Juga
"Pajak karbon tetap ditargetkan untuk dikenakan pertama kali pada PLTU batu bara dengan mekanisme cap and tax mulai 2022, sesuai amanat UU HPP. Ini akan mendukung mekanisme pasar karbon yang diberlakukan dengan cap and trade yang sudah berlangsung antara PLTU, yang ini sudah dilakukan Kementerian ESDM," kata Febrio.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai bahwa pemerintah memang sepantasnya menunda implementasi pajak karbon jika aturan teknisnya belum siap. Belum rampungnya penyusunan aturan itu pun cukup disayangkan karena implementasi pada 1 April 2022 sudah dipatok sejak awal.
"Pajak karbon ini kan perlu ada suatu aturan operasional yang bisa membuat konsep dan apa yang dituju dari kebijakannya bisa tercapai tanpa membuat kebingungan atau ada dispute. Ini kan ada suatu standar atau kriteria yang akan berlaku, dan perhitungannya yang mesti jelas," ujar Faisal kepada Bisnis, belum lama ini.
Menurutnya, pemerintah harus menjelaskan sektor apa saja yang terkena pajak, bagaimana kriterianya, juga berapa besar tarifnya. Selain itu, Core menekankan agar terdapat kejelasan regulasi atas pengenaan pajak karbon karena pengembangan ekonomi hijau menjadi langkah yang sangat penting.
"Aturan operasionalnya harus jelas dan siap dulu, penting karena pajak karbon merupakan sesuatu yang baru. Dia mau berjalan ini banyak yang harus dipertimbangkan, karena nyatanya untuk menerapkan pajak karbon tidak mudah," ujar Faisal.