Bisnis.com, JAKARTA — Tingginya beban subsidi dan kompensasi merupakan imbas dari kenaikan harga komoditas secara global dan keputusan pemerintah untuk menahan harga bahan bakar minyak. Ekonom menilai bahwa sejauh ini belum terdapat solusi riil atas penanganan lonjakan beban subsidi dan kompensasi.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, sebagai respons atas "curhat" Presiden Joko Widodo mengenai tingginya beban subsidi dan kompensasi energi. Jokowi bahkan menyebut total biayanya dapat memenuhi kebutuhan pembangunan ibu kota negara (IKN).
Fahmy menjelaskan bahwa pembengkakan beban subsidi terjadi karena meroketnya harga minyak dunia, yang menjadi variabel utama pembentuk harga BBM. Harga minyak dunia mencapai US$105 per barrel, sedangkan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) adalah US$63 per barrel.
"Selisih ICP dengan harga minyak dunia itulah yang merupakan subsidi menjadi beban APBN, akibat kebijakan pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Curhat Jokowi terkait subsidi dan kompensasi salah sasaran, yang selama ini tidak pernah ada solusinya, kecuali hanya pada tataran wawacana saja," ujar Fahmy pada Selasa (21/6/2022).
Dia menyebut bahwa setidaknya terdapat tiga langkah untuk menekan lonjakan beban subsidi dan kompensasi energi. Pertama, menyerahkan penetapan harga pertamax dan jenis di atasnya kepada PT Pertamina (Persero).
Menurut Fahmy, pemerintah harus memberi keleluasaan Pertamina untuk menetapkan harga pertamax dan di atasnya sesuai harga keekonomian. Hal tersebut akan membuat negara tidak perlu membayar kompensasi atas selisih harga jual dengan harga keekonomian.
Baca Juga
Kedua, pemerintah perlu menetapkan pembatasan penggunaan pertalite dan solar menggunakan kriteria yang sederhana dan mengawasi operasionalnya di lapangan. Fahmy menyarankan agar pemerintah menetapkan penggunaan pertalite dan solar hanya untuk sepeda motor dan kendaran angkutan.
"Ketiga, hapus BBM RON 88 premium. Alasannya, kendati penggunaan premium sudah dibatasai hanya di luar Jawa, Madura, dan Bali [Jamali], tetapi impor dan subsidi kandungan premium masih cukup besar, yang juga menambah beban APBN," katanya.
Fahmy menilai bahwa akan lebih produktif bagi Jokowi jika mendorong subsidi yang lebih tepat sasaran, ketimbang curhat besaran subsidi BBM yang sifatnya pemberian (given). Adanya langkah riil dengan menurunkan subsidi BBM, maka Jokowi sendiri dapat menggunakan dana subsidi itu untuk berbagai keperluan, misalnya membiayai pembangunan IKN.
"Upaya itu sesungguhnya pernah dilakukan Jokowi di periode pertama pemerintahannya, dengan memangkas subsidi BBM dalam jumlah besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur," kata Fahmy.