Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang mengusulkan cuti melahirkan minimal enam bulan. Aturan ini akan dibahas lebih lanjut menjadi undang-undang (UU).
Adapun dikutip dari salinan RUU KIA yang diusulkan, Senin (20/6/2022), cuti hamil berubah jadi enam bulan dan masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran.
Sebelumnya, masa cuti melahirkan diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Tenaga Kerja dengan durasi 3 bulan saja.
"Setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan, mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran," bunyi RUU KIA bab II pasal 4 ayat (2) a dan b.
Beleid tersebut juga menegaskan bahwa selama cuti hamil pekerja tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sebagai pekerja.
RUU KIA itu turut mengatur penetapan upah untuk ibu yang cuti melahirkan, yakni 3 bulan pertama masa cuti mendapat gaji penuh (100 persen) dan mulai bulan ke-4 upah dibayarkan 75 persen.
Baca Juga
"Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat [2] huruf a mendapatkan hak secara penuh 100 persen untuk 3 bulan pertama dan 75 persen untuk 3 bulan berikutnya," bunyi bab II pasal 5 ayat (2).
Sementara itu guna menjamin pemenuhan hak ibu melahirkan, RUU KAI juga memberikan cuti bagi suami sebagai pendamping. Bagi cuti melahirkan diizinkan paling lama 40 hari dan jika istri keguguran dibolehkan cuti paling lama 7 hari.
Sebagai informasi, dalam beleid tersebut dijelaskan penyelenggaraan KIA bertujuan mewujudkan rasa aman, tenteram bagi Ibu dan Anak, meningkatkan kualitas hidup Ibu dan Anak yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Selain itu juga mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, menjamin upaya penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak bagi Ibu dan Anak, melindungi dari tindak kekerasan, penelantaran, dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.