Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta pemerintah untuk membenahi tata niaga bijih nikel kadar rendah limonit dan mineral kobalt yang belakangan difokuskan untuk menjadi bahan baku utama pembentukan baterai kendaraan listrik.
Pembenahan tata niaga bijih nikel kadar rendah itu diharapkan dapat memompa produksi bahan baku seiring dengan peningkatan kapasitas input pada pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter yang diperkirakan mencapai 250 juta ton pada 2025. Saat ini, rata-rata kapasitas input bijih nikel pada kegiatan pemurnian dan pengolahan berada di kisaran 120 juta ton per tahun.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan pembenahan perdagangan limonit dan mineral kobalt itu berkaitan dengan penetapan harga patokan mineral atau HPM di tengah peningkatan permintaan dan transaksi pada bahan baku baterai kendaraan listrik tersebut dari industri hilir.
“Kita tidak mau dong negara tidak dapat apa-apa, sementara ada produk jadinya. Kita minta ada HPM untuk limonit dan mineral kobaltnya sehingga kegiatan tambang pun makin bertambah dengan kadar rendah yang dibeli sesuai HPM,” kata Meidy melalui sambungan telepon, Minggu (12/6/2022).
Meidy menuturkan kegiatan pertambangan bakal stagnan jika tata perdagangan nikel kadar rendah itu tidak segera diperbaiki. Di sisi lain, kapasitas input smelter untuk hilirisasi baterai listrik diperkirakan tumbuh 4 kali lipat akibat permintaan yang tinggi untuk kendaraan listrik pada 2025 mendatang. Saat itu, pemerintah menargetkan terdapat 15 smelter nikel efektif beroperasi untuk mendorong olahan katoda baterai.
Absennya HPM itu, kata dia, turut mengakibatkan potensi penerimaan negara dari sektor hulu tambang nikel raib dalam jumlah yang cukup besar.
Sementara itu, kegiatan eksplorasi tambang nikel dipastikan bakal rendah akibat tata perdagangan yang tidak menguntungkan bagi pelaku usaha di sektor hulu.
“Permintaan smelter selalu kontraknya cost, insurance and freight [CIF] mau tidak mau penambang memberikan kontrak dengan transaksi CIF dan biaya pengiriman, tongkang dan masih banyak juga ada perbedaan selisih kadar dan analisa, HPM ini untuk mendorong penambangan limonite,” tuturnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi olahan nikel tembus di angka 2,58 juta ton pada 2022. Target itu bakal ditopang lewat produksi Feronikel sebesar 1,66 juta ton, nickel pig iron 831.000 ton, dan nickel matte 82.900 ton.
Adapun, umur cadangan bijih nikel Indonesia dapat mencapai 73 tahun untuk jenis bijih nikel kadar rendah di bawah 1,5 persen atau bijih nikel limonit. Asumsi umur cadangan tersebut berasal dari jumlah cadangan bijih nikel limonit mencapai 1,7 miliar ton dan kebutuhan kapasitas pengolahan di dalam negeri sebesar 24 juta ton per tahun.
Sementara untuk bijih nikel kadar tinggi di atas 1,5 persen atau nikel saprolit, umur cadangannya disebutkan hanya cukup untuk sekitar 27 tahun ke depan. Hitungan ini berdasarkan asumsi jumlah bijih saprolit sebesar 2,6 miliar ton dan kapasitas kebutuhan biji untuk smelter dalam negeri mencapai 95,5 juta ton per tahun.
Di sisi lain, produksi olahan nikel Indonesia sempat mencapai 2,47 juta ton pada 2021. Angka ini naik 2,17 persen dibanding 2020 yang sebesar 2,41 juta ton. Seperti diketahui, tren produksi olahan nikel di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Awalnya produksi olahan nikel hanya sebesar 927.900 ton pada 2018. Angka ini terus naik, salah satunya ditopang oleh produksi feronikel.
Sebelumnya, PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) memperkirakan permintaan mobil dan motor listrik masing-masing bakal tembus di angka 400.000 unit dan 1,2 juta unit atau tumbuh sampai 4 kali lipat pada 2025 mendatang. Sementara itu, IBC belakangan masih mencari investor prospektif untuk membangun industri pembentuk komponen sel baterai yang belum dapat diproduksi di dalam negeri seperti anoda, elektrolit, selubung dan separator.
SVP Corporate Strategy & Business Development Indonesia Battery Corporation (IBC), Adhietya Saputra mengatakan pasar baterai kendaraan listrik bakal tumbuh signifikan seiring dengan proyeksi peningkatan permintaan mobil dan motor listrik hingga 2025 mendatang. Berdasarkan proyeksi IBC, kebutuhan daya dari baterai listrik secara global mencapai 1.600 Giga Watt hour (GWh) sementara permintaan domestik diperkirakan sekitar 60 GWh pada 2030.
“Adapun, IBC turut menargetkan ekspor baterai listrik mencapai 200 GWh untuk memenuhi kebutuhan dunia yang diperkirakan total permintaannya mencapai 1.600 GWh pada 2030 mendatang,” kata Adhietya dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia dikutip Minggu (12/6/2022).