Bisnis.com, JAKARTA-Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi terkoreksi, sejalan dengan penurunan kondisi ekonomi riil global.
Wakil Ketua Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan tidak ada negara yang tidak terpengaruh oleh situasi global saat ini. Meskipun, menurut dia, potensi kontraksinya tidak terlalu signifikan terhadap Indonesia.
“Tidak perlu terlalu dipermasalahkan, hanya perlu dikawal saja agar semua respon kebijakan kita masih on track dan suportif untuk memaksimalkan pertumbuhan,” kata Shinta kepada Bisnis, Kamis (9/6/2022).
Baru baru ini, dua lembaga internasional OECD dan World Bank memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022.
OECD menurunkan estimasi PDB Indonesia dari 5,2 persen menjadi 4,7 persen, sedangkan World Bank menurunkan dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen. Ancaman inflasi dan konsumsi rumah tangga menjadi salah satu penyebab diturunkannya proyeksi tersebut karena Indonesia amat terdampak dari tingginya harga minyak dunia.
Proyeksi ekonomi Indonesia oleh OECD dan World Bank sebenarnya masih dalam rentang yang sama dengan proyeksi pemerintah RI sebesar 5,2 persen. Hal itu menunjukkan bahwa optimisme dua lembaga itu terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun.
Baca Juga
Shinta mengatakan strategi yang perlu dilakukan pemerintah saat ini untuk menjaga konsumsi adalah menjaga daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah bawah. Ini bisa dilakukan dengan menggelontorkan bantuan sosial atau Bansos, subsidi sembako atau bentuk-bentuk subsidi lain yang berfungsi menambahkan penghasilan atau mengurangi beban konsumsi pokok masyarakat kelas menengah bawah.
“Dengan demikian, pertumbuhan konsumsi nasional bisa dipertahankan dan kita bisa menghindari isu sosial seperti extreme poverty atau bahkan instabilitas sosial-politik,” ucap pemilik dan Chief Executive Officer Sintesa Group, itu.
Adapun terkait dengan tingkat inflasi tahun ini, Shinta menuturkan masih belum bisa pastikan karena tergantung perkembangan konflik geopolitik dan respon kebijakan pemerintah. Risiko-risiko itu antara lain yang menyertai isu geopolitik tersebut seperti pelemahan nilai tukar, inflasi, respon kebijakan untuk perlindungan daya beli masyarakat dan stimulus terhadap sektor riil dan lain-lain.
“Namun, dengan asumsi kondisi status quo hingga akhir tahun dan pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat dan bisa menciptakan intervensi-intervensi kebijakan makro lain yang berfungsi menstabilkan atau menjaga volatilitas makro, saya rasa target inflasi APBN-P masih bisa terpenuhi di batas atas atau mendekati 4 persen atau lebih sedikit,” ujarnya.
Lebih lanjut, Shinta juga mengungkapkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi yang ada sekarang sebetulnya sudah mencerminkan/memperhitungkan potensi daya dukung ekspor komoditas dan bahkan memperhitungkan juga potensi peningkatan inbound investasi.
Oleh karena itu, lanjut dia, pertumbuhan ekspor komoditas memang berpotensi mendorong pertumbuhan product domestic bruto (PDB), namun akan terbatas.
Sebab, proporsi ekspor komoditas masih kalah jauh dengan proporsi penerimaan PDB dari komponen kegiatan lain, khususnya konsumsi dan investasi.
“Kemungkinan besar hanya bisa sekedar memperlambat atau meng-offset penurunan produktivitas/pertumbuhan dari kegiatan lain seperti konsumsi, tetapi tentu saja tidak bisa menggantikan seluruh potensi pertumbuhan yang hilang. That’s why, penurunan proyeksi pertumbuhannya tidak terlalu dalam, hanya 0,1 persen,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Koordinator Bidang Maritim, Investasi dan Luar Negeri tersebut.