Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berencana akan mengimplementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada 2023 mendatang. Adapun tujuan NIK menggantikan NPWP adalah untuk penyederhanaan dan konsistensi.
Meskipun nantinya NIK akan menggantikan NPWP, ini tak lantas membuat orang pribadi yang memiliki NIK berkewajiban membayar pajak.
Kewajiban membayar pajak hanya diwajibkan untuk orang pribadi yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Itu artinya, jika penghasilan orang pribadi belum sebesar PTKP, maka tidak perlu membayar pajak.
Menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), besar PTKP saat ini adalah Rp54 juta per tahun untuk status belum menikah dan tidak ada tanggungan (TK/0) atau penghasilan per bulan minimal Rp4,5 juta.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Neilmaldrin Noor menjelaskan, secara administratif yang membedakan NIK masing-masing wajib pajak adalah sudah teraktivasi atau belum.
Jika penghasilan orang pribadi di atas PTKP, maka NIK akan diaktivasi untuk kemudian memenuhi kewajiban perpajakannya. Lalu bagaimana cara melakukan aktivasi NIK untuk memenuhi kewajiban perpajakan?
Baca Juga
Neil menyampaikan, terdapat dua cara untuk melakukan aktivasi.
Pertama, NIK akan diaktivasi oleh wajib pajak sendiri dengan memberitahukan langsung ke DJP.
"Atau DJP mengaktivasi NIK tersebut secara mandiri bila diketahui telah berpenghasilan dan akan diberikan pemberitahuan bahwa NIK wajib pajak tersebut sudah diaktivasi untuk kemudian wajib menjalankan kewajiban perpajakannya," kata Neil kepada Bisnis, Senin (24/5/2022).
Di lain sisi, Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM Adrianto Dwi Nugroho menilai, benang merah dari NIK dan NPWP terletak pada "domisili".
Dia menjelaskan, NPWP diberikan kepada Subjek Pajak Dalam Negeri, yang di dalamnya mencakup Warga Negara Asing (WNA) yang berdomisili di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan, sesuai ketentuan yang terdapat pada pasal 2 Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
"Dengan dapat digunakannya NPWP sebagai penanda status kependudukan seseorang, maka WNA yang memiliki NPWP dapat mengakses layanan publik yang memerlukan syarat kependudukan, misalnya layanan perbankan," katanya kepada Bisnis, Senin malam (23/5/2022).
Kendati demikian, Adrianto mengungkapkan ada sedikit masalah dengan penggunaan NIK sebagai penanda status wajib pajak.
Ini lantaran pasal 2 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menyatakan bahwa untuk dapat menjadi wajib pajak, seseorang juga (selain syarat subjektif berupa domisili) harus memenuhi syarat objektif, yaitu memperoleh penghasilan yang menjadi objek PPh sesuai dengan ketentuan yang diatur pada pasal 4 ayat (1) UU PPh.
Dalam hal ini, jelas Adrianto, NIK hanya penanda terpenuhinya kewajiban subjektif berupa domisili di Indonesia.
Masalah lainnya, status domisili seseorang juga biasanya terkait dengan status keimigrasian dari yang bersangkutan.
"Dalam UU KUP pasca UU HPP sudah jelas diatur tentang status SPLN bagi WNI yang meninggalkan Indonesia lebih dari 183 hari. Apakah dengan hilangnya NPWP juga berarti hilang pula NIK? Ini yang belum diatur pada Perpres 83 Tahun 2021," ujar Adrianto.
Kemudian, saat ditanya apakah kebijakan tersebut bakal efektif, Adrianto menyampaikan harus melihat dari dua sisi.
Jika NIK hanya sekedar alat untuk utk ekstensifikasi wajib pajak, menurutnya kebijakan tersebut efektif lantaran bisa jadi banyak yang sudah memenuhi syarat sebagai wajib pajak, namun belum mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.
"Dengan adanya NIK sebagai NPWP, maka para pemotong pajak bisa menggunakan NIK untuk memotong pajak pemilik penghasilan yang belum memiliki NPWP," jelasnya.
Di lain sisi, kata dia, NIK hanyalah NIK, yang mungkin tidak memberi informasi apapun tentang apakah seseorang sudah memperoleh penghasilan yang menjadi objek PPh, melainkan hanya menjelaskan bahwa seseorang itu berdomisili di Indonesia.