Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan pelarangan ekspor produk kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) telah memasuki hari ke-21, sejak pertama kali diumumkan pada 28 April lalu.
Memasuki hari ke-20 atau tepatnya pada Selasa (17/5/2022) lalu, pelarangan ekspor justru berujung pada unjuk rasa yang dilakukan oleh para petani sawit, yang digelar di depan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Para petani sawit dalam aksinya meminta agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya, lantaran membuat anjlok harga tandan buah segar (TBS) petani.
Aksi yang dilakukan oleh para petani dinilai menjadi peringatan bagi pemerintah agar mempercepat pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan meninjau kebijakan tersebut.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menduga kebijakan tersebut belum berjalan secara optimal lantaran ada semacam anomali dalam kebijakan
"Anomalinya, saat ini menurut pengakuan petani, harga TBS di level petani mengalami penurunan, salah satu alasan kenapa TBS ini mengalami penurunan karena supply CPO dari petani begitu melimpah sehingga tidak terserap penuh oleh pasar," kata Yusuf kepada Bisnis, Rabu (18/5/2022).
Namun, jika melihat harga minyak goreng terutama minyak goreng curah, harganya masih berada pada level yang relatif tinggi, yaitu di kisaran Rp18.000-Rp19.000. Padahal, salah satu alasan mengapa pelarangan CPO ini dilakukan adalah agar kebutuhan bahan baku terpenuhi. Sekarang, disaat bahan baku terpenuhi, harga minyak goreng justru belum turun.
Sehingga menurut Yusuf, hal tersebut dapat dijadikan momentum agar pemerintah melakukan investigasi, apakah masalah dari harga tersebut benar hanya di masalah supply saja atau ternyata ada masalah lain yang solusinya mungkin tak hanya sekedar melarang ekspor CPO.
"Misal ternyata, jangan-jangan kenapa harga CPO tinggi karena harga pokok produksi memang tinggi akibat harga pupuk yang mengalami peningkatan atau misalnya biaya energi untuk mesin produksi mengalami peningkatan akibat misalnya tidak mendapatkan subsidi," jelas Yusuf.
Di lain sisi, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, petani sawit, khususnya petani swadaya adalah pihak yang paling dirugikan dari pelarangan ekspor CPO. Petani, kata Bhima, berada pada titik rantai pasok terlemah, ditekan oleh tengkulak dan perusahaan sawit besar.
Meskipun sudah ada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) untuk mengatur harga acuan pembelian TBS dari petani, menurut Bhima pengusaha akan beralasan oversupply, bahkan beberapa pabrik kelapa sawit tutup.
"Sekarang siapa yang siap menyerap kelebihan pasokan CPO? BUMN? Kan tidak bisa terserap semua. Disini perusahaan besar kompensasikan kerugian dari pelarangan ekspor CPO ke pembelian TBS yang jauh lebih murah," kata Bhima kepada Bisnis, Rabu (18/5/2022).
Oleh karena itu, kedua ekonom tersebut berharap pemerintah dapat melihat relevansi kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya di kemudian hari serta mendengar aksi dari petani sawit.
Mengutip Bisnis, Rabu (18/5/2022), Dirjen Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyampaikan larangan ekspor CPO akan kembali dievaluasi apabila harga minyak goreng curah menyentuh harga eceran tertinggi (HET) yaitu Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram.
Keran ekspor CPO akan kembali dibuka pemerintah apabila harga sudah sesuai HET dan konsisten. Pemerintah resmi menerapkan kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), minyak sawit merah atau red palm oil (RPO), palm oil mill effluent (POME), serta refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein dan used cooking oil pada 28 April lalu.
Kebijakan tersebut diberlakukan hingga tersedianya minyak goreng curah di masyarakat seharga Rp14.000 per liter yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sebelum menerapkan pelarangan ekspor CPO dan turunannya, pemerintah telah menerapkan kebijakan terkait minyak goreng curah. Namun, kebijakan tersebut dianggap belum efektif lantaran masih ditemui minyak goreng curah dengan harga di atas Rp14.000 per liter di beberapa tempat.
"Begitu kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, tentu saya akan mencabut larangan ekspor. Karena saya tahu negara perlu pajak, negara perlu devisa, negara perlu surplus neraca perdagangan. Tapi memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting," kata Presiden Joko Widodo, mengutip laman Sekretariat Kabinet, Rabu (18/5/2022).