Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja Starbucks Corp. di Amerika Serikat tercatat melampaui ekspektasi pada kuartal kedua tahun ini.
Plt. Chief Executive Officer Howard Schultz menyambut baik perkembangan tersebut, bahkan ketika dia menghadapi inflasi yang tinggi dan kebijakan penanganan Covid-19 di China yang menghambat kinerja di negara itu.
Permintaan yang kuat mendorong penjualan meningkat 12 persen, lebih tinggi dari perkiraan rata-rata analis. Pembelian pelanggan meningkat pada periode tersebut, hingga 3 April, dan jumlah rata-rata per transaksi juga meningkat.
“[Kami] berfokus pada peningkatan bisnis inti kami kami di AS,” katanya, dilansir melalui Bloomberg, Rabu (4/5/2022).
Saham perusahaan tercatat naik 4,9 persen dalam perdagangan yang diperpanjang pada pukul 17:35 di New York.
Secara terpisah, Starbucks mengumumkan babak baru langkah-langkah untuk meningkatkan gaji dan pelatihan, termasuk menetapkan tenggat waktu pada 1 Agustus untuk langkah perusahaan yang sebelumnya diumumkan untuk menaikkan upah rata-rata menjadi US$17 per jam.
Baca Juga
Starbucks memberikan kenaikan gaji tambahan bagi pekerja tetapnya dan akan memperkenalkan sistem yang memungkinkan pelanggan membayar dengan kartu debit dan kredit dalam memberikan tip.
Perusahaan menganggarkan US$1 miliar untuk langkah tersebut, yang mencakup pelatihan tambahan dan peningkatan peralatan. Perusahaan juga meluncurkan aplikasi untuk menangani komunikasi perusahaan dengan karyawan AS.
Schultz mengatakan perubahan ini memungkinkan pekerja untuk menangani permintaan yang meningkat dan memberikan peningkatan profitabilitas. "Sementara juga memberikan pengalaman yang lebih baik kepada pelanggan kami dan mengurangi ketegangan pada mitra kami,” kata dia.
Lebih lanjut, CEO interim itu mengatakan bahwa perusahaan berencana menunjuk pemimpin berikutnya di musim gugur dan dia akan tinggal untuk membantu transisi.
Adapun secara global, perusahaan melaporkan penjualan naik 7 persen, sementara analis memperkirakan 7,5 persen, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
Perusahaan kopi itu mengatakan sedang menghadapi tekanan inflasi, mengacu pada harga komoditas yang lebih tinggi dan biaya energi yang telah mengguncang dunia.
Margin operasional tumbuh 12,4 persen pada kuartal ini meleset dari proyeksi, sementara pendapatan per saham sebesar 58 sen, juga lebih rendah dari perkiraan analis sebesar 60 sen.
Perusahaan mengatakan tekanan marginnya sebagian diimbangi oleh kenaikan harga menu di Amerika Utara pada kuartal tersebut.
Dengan adanya lockdown di China, penjualan di negara itu turun 23 persen. Analis Edward Jones Brian Yarbrough mengatakan pasar AS dan internasional di luar China berkinerja baik.
“Penghambat terbesar terhadap hasil keseluruhan tetap China, yang mungkin akan terus membebani hasil setidaknya untuk beberapa kuartal berikutnya," kata Yarbrough.
Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan Starbucks untuk saat ini, dia masih melihat China tetap memiiki prospek pertumbuhan dalam jangka panjang yang solid dengan return yang sangat tinggi, tetapi jangka pendek akan tetap menjadi tantangan.