Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Polemik Minyak Sawit, GIMNI: Pengusaha Tak Tertarik Ekspor CPO

Para pengusaha disebut sudah tidak tertarik mengekspor crude palm oil (CPO) karena pungutan yang mahal.
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/2020). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan nilai ekspor kelapa sawit nasional tahun 2020 yang berada di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak mengalami perbedaan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau dengan volume 29,11 juta ton. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/2020). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan nilai ekspor kelapa sawit nasional tahun 2020 yang berada di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak mengalami perbedaan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau dengan volume 29,11 juta ton. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia atau GIMNI Sahat Sinaga mengeklaim produsen minyak sawit di Indonesia sudah tidak tertarik mengekspor crude palm oil (CPO) ke luar negeri karena pungutan yang terlampau mahal.

Pemerintah lewat Kementerian Keuangan menaikkan tarif pungutan ekspor atau levy CPO dan produk turunannya dari maksimal US$355 per ton menjadi US$375 per ton. Aturan ini juga diikuti dengan kenaikan batas atas harga CPO dari di atas US$ 1.000 menjadi di atas US$1.500 per ton.

“Sebenarnya soal pelarang CPO, tidak usah dilarangpun tidak tertarik ekspor CPO. Coba lihat dana keluar dan dana pungutannya berapa US$ 375-575. Siapa yang tertarik mengekspor CPO? Kalau yang lain masih tertariklah,” kata Sahat Sinaga saat dihubungi Bisnis, Senin (25/4/2022).

Jika CPO jadi dilarang, lanjut Sahat, hal itu akan berdampak pada kerugian. Tetapi, menurutnya, hal tersebut biasa dalam bisnis.

“Di bisnis biasa jika ada perubahan-perubahan regulasi itu,” tuturnya.

Lebih lanjut, Sahat mengatakan produsen saat ini sudah menyiapkan minyak goreng curah sampai hari Lebaran sebanyak 1,9 juta ton atau 92 persen dari total kebutuhan.

“Jadi tinggal beberapa hari terpenuhi. Pertanyaannya apakah seluruh pelosok Indonesia terpenuhi atau terjadi perpindahan ke minyak goreng curah karena lebih murah,” jelasnya.

Menurut dia, kebutuhan minyak goreng di dalam negeri sebetulnya tidak banyak. Tetapi, persoalannya bagaimana harga minyak goreng bisa terjangkau masyarakat.

“Makanya harga di lapangan itu dimonitor harga pembelian migor [minyak goreng] oleh pelaku pedagang eceran itu berapa. Jika mereka membeli harga tinggi berarti ada yang tidak beres di distributor itu. Jadi tidak ribet lagi," jelasnya.

Di sisi lain, pengamat sawit Tungkot Sipayung menyebut jika tidak ada pelarangan minyak goreng, para produsen justru akan mengekspor CPO secara besar-besaran.

"Akibatnya di dalam negeri berkurang yang merafinasi CPO menjadi RBD palm olein [karena dilarang ekspor] maupun memfraksinasi menjadi RBD migor [minyak goreng]curah. Jadi tidak ada kepastian akan tersedianya minyak goreng dalam negeri juga,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper