Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor CPO dan Minyak Goreng Dilarang, Pemerintah Diminta Antisipasi Ini

Kebijakan Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng harus mempertimbangkan dampak dan antisipasi yang diperlukan.
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/2020). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan nilai ekspor kelapa sawit nasional tahun 2020 yang berada di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak mengalami perbedaan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau dengan volume 29,11 juta ton. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/2020). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan nilai ekspor kelapa sawit nasional tahun 2020 yang berada di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak mengalami perbedaan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau dengan volume 29,11 juta ton. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Anggota Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih buka suara terkait kebijakan yang melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4/2022).

Dikutip melalui akun Twitter @Alamsyahsaragih, dia mengatakan kebijakan yang dipilih Presiden Joko Widodo tersebut tetap harus mempertimbangkan dampak dan antisipasi yang diperlukan.

“Jangan setengah-setengah. Meski terlambat, tetapi akhirnya Presiden Jokowi memilih untuk menghentikan ekspor minyak sawit [CPO] mulai 28 April 2002 hingga batas waktu yang ditentukan kemudian. Apa dampaknya dan apa yang perlu diantisipasi?,” tulisnya, dikutip melalui akun Twitter @Alamsyahsaragih, Minggu (23/4/2022).

Dia melanjutkan, kebijakan ini tak boleh diambil hanya sebagai reaksi atas meningkatnya harga minyak sawit global karena hanya akan menimbulkan respons temporer dari pelaku usaha.

“Kita memerlukan perubahan yang lebih fundamental dari sekadar menghentikan ekspor,” ujarnya.

Menurutnya, dalam jangka pendek, kebijakan ini akan efektif jika dua asumsi terpenuhi. Pertama, kelebihan pasokan (over supply) di pasar domestik akan menurunkan harga crude palm oil (CPO) sehingga minyak goreng dan produk hilir lain lebih murah.

Kedua, pemerintah yang kuat harus mampu mengatasi upaya oknum yang mengambil untung melalui potensi tindakan ekspor gelap.

Kendati demikian, dia melanjutkan pemerintah perlu mengantisipasi dampak penurunan harga sawit rakyat akibat kelebihan pasokan. Pasalnya, terdapat 34,2 juta ton minyak sawit yang semula terserap oleh pasar luar negeri akan membanjiri pasar domestik yang hanya menyerap 18,4 juta ton pada 2021.

“Selain harga sawit rakyat yang jatuh, penerimaan devisa dari ekspor CPO juga akan merosot drastis. Begitu pula pemasukan BPDP-KS dari pungutan ekspor CPO akan terhenti, akibatnya pembiayaan insentif biodiesel akan tertekan,” katanya.

Alamsyah pun menilai untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah perlu menghapus skema insentif biodiesel berbasis harga global dan menggantinya dengan harga keekonomian atau harga domestik sesuai perkembangan. Dengan demikian, tekanan pembiayaan insentif biodiesel dapat dikurangi dan harga BBM bisa dipertahankan.

Penyebabnya, dari Rp71,6 triliun pungutan ekspor pada 2021, yang dibelanjakan mencapai Rp53,6 triliun. Insentif Biodiesel menghabiskan Rp52,0 triliun (97 persen) dari total belanja, menyingkirkan alokasi untuk peremajaan sawit yang hanya mencapai Rp1,3 triliun (2,4 persen) dan riset Rp55,8 miliar.

Selanjutnya, dia menyarankan untuk menaikkan bauran minyak sawit dalam produk biodiesel dari sekarang B30 menjadi B40—50 sehingga mencapai kondisi optimum atas tiga variabel penting, yakni harga sawit rakyat, cadangan devisa, dan harga produk hilir

“Meningkatkan bauran minyak sawit dalam biodiesel, selain menjaga permintaan sawit rakyat, juga akan mengurangi impor minyak bumi sehingga pemborosan devisa dapat dikurangi. Namun harus pada tingkat tidak menyebabkan kelangkaan bahan baku dan kenaikan harga produk hilir seperti minyak goreng,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia juga mengatakan untuk jangka menengah dan panjang diperlukan kebijakan penguasaan stok CPO oleh pemerintah khusus untuk keamanan pangan.

Selanjutnya, perlu untuk memecah konsentrasi aset pada rantai pasok sawit melalui sistem perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang bersifat regresif dan percepatan investasi pada lini hilir.

Menurutnya, kebijakan tersebut akan mengubah fundamental dalam ketahanan sosial, energi, pangan, dan devisa pada masa mendatang.

“Mari kita lihat sekarang seberapa cepat pemerintah mampu mengatasi anjloknya harga sawit jika terjadi kelebihan pasokan tiba-tiba? Jangan sampai pengusaha yang dituduh nakal tapi petani sawit yang dibantai,” ujarnya.

Hal itu dikarenakan apabila kelebihan pasokan perusahaan besar hanya akan mengolah sawit dari kebun sendiri dan mengurangi permintaan kepada petani non plasma.

“Pada 2019, sebanya 33,51 persen minyak sawit dipasok bahan bakunya dari kebun rakyat. Bayangkan jika permintaan terpangkas 66,7 persen akibat larangan ekspor,” tutur Alamsyah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper