Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Siap-siap! Larangan Ekspor Minyak Goreng Disebut Bisa Jadi Bumerang

Keputusan pemerintah untuk melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak goreng dinilai tak akan menyelesaikan persoalan, bahkan justru akan menjadi bumerang.
Sejumlah warga antre untuk membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar minyak goreng murah di Halaman Kantor Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/1/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Sejumlah warga antre untuk membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar minyak goreng murah di Halaman Kantor Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/1/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Keputusan Presiden Joko Widodo untuk melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak goreng dinilai bakal menjadi bumerang.

Hal ini dikarenakan kebijakan yang rencananya bakal berlaku pada 28 April 2022 itu belum bisa menurunkan atau menstabilkan minyak goreng di dalam negeri.

Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan disparitas antara harga internasional dan dalam negeri makin tinggi. Disparitas yang tinggi itu akan memunculkan keinginan untuk menyelundupkan minyak goreng ke luar negeri.

"Oh belum tentu [minyak goreng jadi murah]. Katakanlah ini di ekspor sehingga harga dalam negeri turun, awal-awalnya turun. Tapi disparitas harga antara internasional dan dalam negeri makin meledak. Internasional itu dekat seperti Singapura. Jadi karena adanya disparitas yang besar ini, akhirnya mendorong penyelundupan keluar. Maka mampukah aparat keamanan kita memagari seluruh Indonesia? Hampir tidak mungkin," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Minggu (24/4/2022).

Dari pengamatan itu, langkah menyetop ekspor CPO diprediksi tidak akan menurunkan harga tetapi malah memicu kenaikan harga berkali-kali lipat.

"Terjadi penyelundupan keluar, jadi kita enggak ada pemasukan, enggak ada biaya keluar, jadi harga dalam negeri bisa naik," kata mantan Komisaris PTPN IV itu.

Menurut dia, naiknya harga minyak goreng di dalam negeri karena menteri-menteri Jokowi tidak tanggap dalam melihat situasi. Kebijakan baru yang diambil untuk menyelesaikan masalah justru memunculkan persoalan baru.

Padahal, sudah jelas bahwa melakukan ekspor minyak goreng ke luar negeri lebih menguntungkan ketimbang menjualnya di dalam negeri.

Dengan kondisi itu, pemerintah seharusnya membuat kebijakan untuk menaikkan biaya ekspor minyak goreng hingga dua kali lipat. Dia yakin hal itu bisa membuat eksportir berpikir ulang untuk menjualnya ke luar negeri.

"Sampai saat ini, menjual ke luar negeri masih jauh lebih menguntungkan bagi eksportir, karena kalau dia menjual ke luar negeri, maka dia hanya keluar sebanyak US$575 per ton. Sementara harga jual di pasar luar negeri sejumlah USD$1.600 per ton, jadi masih untung US$1.100 per ton," ucapnya.

Menurut dia, apabila menjual komoditas tersebut ke dalam ke dalam negeri lebih kecil, maka pengusaha lebih memilih ekspor. “Untuk menyelesaikannya maka naikkan pungutan keluar sebanyak dua kali lipat," lanjutnya.

Memang, Kementerian Perdagangan sebelumnya sudah menaikkan tarif atau pungutan ekspor sawit. Sayangnya, kenaikan tarif tersebut tidak membuat para eksportir meningkatkan prioritas pasokannya ke dalam negeri.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76 Tahun 2021, pungutan ekspor sawit diatur sebesar US$55 per ton untuk harga CPO US$750 per ton. Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50 per ton, maka tarif pungutan ekspor naik US$20 per ton.

"Ternyata kebijakan sebelumnya belum bisa menurunkan harga dalam negeri kan? Ya naikkan lagi. Dalam kondisi yang abnormal seperti ini, naikkan saja dia menjadi 50 persen, naikkan dua kali lipat dari sekarang. Dengan biaya keluar itu, nanti dia akan membayar sekitar 800 US Dolar kepada Negara. Nah, dia akan memilih dua-duanya, menjual sebagian ke luar negeri dan sebagian di dalam negeri," katanya.

Dia pun mengingatkan pemerintah untuk memahami perilaku usaha. Lalu, membuat kebijakan untuk menggiring perilaku usaha ini untuk kepentingan nasional.

"Pemerintah harus paham perilaku dunia usaha. Buat kebijakan untuk mengiring perilaku untuk kepentingan nasional," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper