Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebut bahwa denda ketidakpatuhan pelaporan perpajakan akan lebih rendah jika wajib pajak terkait mengikuti program pengungkapan sukarela atau PPS.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyatakan bahwa pemerintah telah membuka kesempatan pengampunan melalui program Tax Amnesty pada 2017 lalu. Program serupa kembali dibuka, yakni melalui PPS yang berlaku hingga Juni 2022.
Terdapat sejumlah tarif denda bagi peserta PPS atau wajib pajak yang tidak patuh, bergantung kepada program yang diikutinya. Misalnya, dalam program kedua atau program untuk mantan peserta Tax Amnesty, Suryo menyebut bahwa baseline tarif pajak adalah 14 persen.
“Sebetulnya itu tidak terlalu mahal apabila dibandingkan dengan risiko ketemu [oleh petugas pajak] suatu saat nanti, 30 persen,” ujar Suryo pada Selasa (19/4/2022).
Dia menyebut bahwa mekanisme pengenaan tarif Tax Amnesty dan PPS sama, tetapi PPS lebih menguntungkan. Hal tersebut karena terdapat sanksi 200 persen terhadap tarif pajak 30 persen.
Suryo memberikan contoh seseorang memiliki aset Rp100 juta dan belum mengungkapkannya dalam surat pemberitahuan (SPT) Tahunan. Orang itu dikenakan pajak 30 persen, ditambah sanksi 200 persen terhadap nilai sesuai tarif pajak tersebut.
Pajak dari orang tersebut adalah Rp30 juta, lalu terdapat denda Rp60 juta, sehingga yang perlu dibayar adalah Rp90 juta. Menurut Suryo, tarif itu akan memberatkan karena orang itu hanya menyisakan Rp10 juta dari aset terkait.
“Nah, kalau di UU HPP ini sanksinya tidak seperti di UU Tax Amnesty. Sanksi tetap bayar 30 persen pajaknya, sanksinya hitung waktu saja,” katanya.