Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Eric Hermawan

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia dan Staf Pengajar STIAMI Jakarta

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Polemik Kenaikan Harga Pertalite

Perubahan dari premium ke pertalite mampu menurunkan kadar emisi CO2 sebesar 14 persen. Bagaimana dampaknya terhadap daya beli masyarakat?
Pemerintah berencana memotong subsidi harga Pertalite /Antara-M. Agung Rajasa
Pemerintah berencana memotong subsidi harga Pertalite /Antara-M. Agung Rajasa

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meniadakan peredaran BBM jenis Premium. Sejak 10 Maret 2022, Kementerian ESDM memutuskan tidak menjual BBM dengan Research Octane Number atau RON 88 tersebut.

Tidak lama setelah harga bahan bakar Pertamax naik, rupanya pemerintah nampaknya tidak memiliki opsi lain selain mengerek beberapa produk subsidi seperti tarif pada gas elpiji 3 kg, listrik, dan BBM. Selama ini masyarakat kecil bertanggung pada mode konsumsi Premium. Kini Pertalite bisa jadi opsi satuan produk bahan bakar yang paling mendekati dijadikan konsumsi utama publik kita.

Posisi pemerintah akan masuk pada dilema dengan kondisi perekonomian pada harga minyak dunia sulit ditebak. Pemberian subsidi pada pertalite dapat memukul anggaran APBN. Indonesia kini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain.

Di regional Asia Tenggara saja Indonesia masih menggunakan BBM berstandar Euro, sedangkan negara tetangga sudah berstandar Euro 4 dan akan masuk ke standar Euro 5. Lagi pula perubahan dari premium ke pertalite mampu menurunkan kadar emisi CO2 sebesar 14 persen.

Perencanaan pemerintah dalam waktu dekat sangat berbahaya bagi daya beli masyarakat. Pada bulan Ramadan seharusnya pemerintah fokus pada takaran beban masyarakat agar tetap seimbang. Posisi ini dipersulit dengan harga Indonesian Crude Price (ICP) maret 2022 mencapai US$98,2 per barel. Angka ini justru melewati perkiraan APBN 2022 yang hanya US$63 per barel.

Perbedaan jauh harga Pertamax dan Pertalite memang dijadikan sandaran masyarakat. Tuntutan masyarakat meminta agar stok Pertalite tidak dibatasi ketersediaanya. Masyarakat memang belum siap beralih ke Pertamax, hanya karena alasan langka konsumen terpaksa menggunakan pertamax. Masyarakat berpotensi mengurangi konsumsi dan harga barang kebutuhan lain meningkat. Kondisinya bakal memberatkan konsumen yang dihadapkan pada kenaikan pajak pertambahan nilai.

Tahun ini pemerintah menetapkan kuota Pertalite sebesar 23,05 juta kiloliter (kl). Antisipasinya, semestinya pemerintah mencadangkan tambahan subsidi untuk pertalite yang permintaannya akan bertambah. Subsidi menjadi matra penyangga keberlangsungan daya beli, esensinya masyarakat menengah ke bawah masih sangat membutuhkan subsidi di tengah harga minyak internasional yang tinggi.

Pertanyaannya, seberapa lama negara mampu menangani pemberian subsidi pada bahan bakar nonsubsidi?

Bicara soal kenaikan harga, minyak dan gas dunia memang sedang fluktuatif dan relatif meningkat. Harus ingat bahwa mengenai harga keekonomian yang ditetapkan, masih dalam perdebatan. Setidaknya, yang penting, jika pemerintah memang menaikkan harga BBM nonsubsidi, subsidi harus itu disesuaikan jumlahnya. Seharusnya pemerintah jangan dahulu melakukan kebijakan serba dadakan.

Memang, minyak sebagaimana komoditas lainnya, juga memiliki beberapa faktor sebagai penentu harga. Setidaknya, berdasarkan referensi yang ada, terdapat empat faktor yang mempengaruhi harga minyak, yaitu: pasokan (supply), permintaan (demand), pasar (market), dan persediaan (inventory).

Pasokan akan dipengaruhi oleh harga minyak, produksi OPEC dan non-OPEC, situasi geopolitik, biaya aktivitas hulu, kinerja dan perkembangan teknologi, dan lain-lain. Faktor permintaan akan dipengaruhi oleh harga minyak, pertumbuhan ekonomi, transportasi, cuaca, efisiensi, energi alternatif, subsidi, dan lain-lain.

Sekarang hitungan pemerintah ialah dilema dalam menempatkan APBN dalam skema memberikan subsidi atau tidak. Belanja Negara yang termuat dalam APBN 2022 sebesar Rp2.714,2 triliun terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sejumlah Rp1.944,5 triliun atau turun sebesar 0,51 persen dari total Belanja Pemerintah Pusat tahun lalu dan Belanja TKDD sejumlah Rp769,6 triliun, turun 3,26 persen atau sebesar Rp25,9 triliun dari total TKDD pada APBN 2021. Jumlah tadi tidak mencakup keseluruhan risiko jika terjadi gangguan harga pasar minyak dunia akibat perang Rusia dan Ukraina saat ini.

Dalam meraba agar pemerintah tidak segera memutuskan menaikkan harga Pertalite, setidaknya harus meninjau dua hal penting. Pertama, melanjutkan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kemampuan adaptasi teknologi.

Kedua, melanjutkan reformasi penganggaran dengan menerapkan zero-based budgeting untuk mendorong agar belanja lebih efisien karena secara tidak langsung mempunyai daya ungkit dalam sektor produktif dalam SDM maupun pelaksanaan anggaran. Selain itu, pemerintah juga dapat memulai memperbaiki pola konsumsi dari BBM.

Kita lihat persebaran penjualan produsen kendaraan bermotor setiap tahun terus bertambah. Laju ini sudah sedemikian lamanya bertolak belakang dengan kapasitas kemampuan produksi.

Dari sini setidaknya muncul kebijakan klaster harga berdasarkan prioritas kendaraan bermotor. Sekalipun berisiko, tetapi mengingat tekanan yang cukup serius dari rentannya penggunaan APBN, berpotensi dapat berdampak pada menurunnya kualitas sektor lainnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Eric Hermawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper