Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah telah membahas pokok-pokok kebijakan fiskal APBN 2023 dalam sidang kabinet terbatas. Asumsi fiskal pada tahun depan dipengaruhi berbagai faktor besar, seperti pandemi Covid-19, konsolidasi fiskal, hingga perang Rusia dan Ukraina.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa dalam sidang kabinet tersebut, dirinya bersama Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan para menteri lainnya membahas pokok kebijakan fiskal tahun depan. Sidang itu mengawali proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023.
Dia menjelaskan bahwa terdapat asumsi pada 2023 mulai terjadi penurunan kasus Covid-19 atau pandemi yang mulai mereda. Hal tersebut akan mengurangi beban dan tekanan terhadap masyarakat dan perekonomian, sehingga APBN dapat mendorong perekonomian dengan lebih baik.
Meskipun begitu, pemerintah menilai bahwa ketegangan politik seperti dari konflik Rusia dan Ukraina akan menjadi risiko baru yang sangat memengaruhi APBN 2023. Konflik geopolitik itu mebuat harga komoditas naik hingga mendorong inflasi yang tinggi secara global.
"Kenaikan komoditas dan inflasi yang tinggi menyebabkan pengetatan kebijakan moneter, baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga yang kemudian akan menimbulkan potensi volatilitas arus modal dan juga nilai tukar, serta tekanan pada sektor keuangan," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers sidang kabinet, Kamis (14/4/2022).
Sejumlah lembaga memproyeksikan adanya pelemahan ekonomi secara global, seperti Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia melemah 1 persen, dari 4,5 persen menjadi hanya 3,5 persen. Bank Dunia pun merevisi target pertumbuhan ekonominya dari 4,4 persen ke 3,5 persen, begitu pun World Trade Organization yang merevisi proyeksi dari 4,4 persen menjadi 3,1 persen—3,7 persen.
Inflasi diperkirakan akan menanjak pada tahun depan, seperti proyeksi Bank Dunia bahwa inflasi negara-negara maju bisa berada di 3,9 persen—5,7 persen. Tekanan inflasi negara berkembang lebih tinggi lagi, yakni mencapai 5,9 persen—8,6 persen.
"Kondisi ini akan menimbulkan dampak yang sangat rumit. Di berbagai belahan dunia sudah mengalami tekanan atau bahkan krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas," kata Sri Mulyani.
Menurutnya, berbagai dinamika itu akan dipertimbangkan untuk dimasukkan sebagai asumsi dalam desain APBN 2023. Kenaikan inflasi dan pengetatan moneter akan membuat pemerintah mempertimbangkan pengelolaan jumlah bunga dan pokok utang, juga adanya kewajiban konsolidasi fiskal dengan mengembalikan defisit APBN ke bawah 3 persen.
"Oleh karena itu, dalam kebijakan fiskal 2023 akan terus difokuskan ke satu, mendukung pemulihan ekonomi terutama program-program prioritas yang telah ditetapkan oleh bapak presiden dan wakil presiden," ujar Sri Mulyani.
Berdasarkan seluruh pertimbangan itu, pemerintah memperkirakan bahwa pendapatan negara pada 2023 ada di kisaran Rp2.255,5—2.382,6 triliun atau 11,28—11,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Belanja negara didesain di kisaran Rp2.818,1—2.979,3 triliun atau mencakup 14,09—14,71 persen terhadap PDB.
Belanja APBN didesain untuk terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp2.017—2.152 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) berkisar Rp800—826 triliun. Prioritas belanja di antaranya untuk perlindungan sosial yang berkisar Rp332—349 triliun, anggaran kesehatan Rp255 triliun yang mencakup anggaran penanganan Covid-19 Rp116,4 triliun.
"Dengan belanja tersebut dan penerimaannya, defisit APBN tahun depan akan dirancang pada kisaran Rp562,6—Rp596,7 triliun atau ini berarti 2,81 persen—2,95 persen dari PDB. Ini artinya kita akan melaksanakan UU 2/2020 di mana defisit APBN 2023 akan kembali di bawah 3 persen," ujar Sri Mulyani.