Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menetapkan pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN dan pajak penghasilan atau PPh atas transaksi kripto karena tingginya potensi penerimaan negara dari sana. Pengenaan PPN dan PPh dalam perdagangan kripto diibaratkan seperti transaksi perdagangan pada umumnya, tetapi dengan catatan khusus.
Aturan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68/2022 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Ketentuan baru itu diundangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 30 Maret 2022 dan akan berlaku mulai 1 Mei 2022.
Kepala Sub Direktorat PPN, Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Bonarsius Sipayung menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan yang menjadikan kripto sebagai barang kena pajak. Kripto bukan merupakan alat tukar resmi, sehingga termasuk barang kena pajak.
Lalu, kripto bukan merupakan surat berharga dan diakui sebagai komoditas, sehingga perdagangannya terkait dengan kewajiban atas PPN. Namun, Bonarsius menilai bahwa pengenaan pajak terhadap kripto tidak dapat menggunakan aturan PPN secara umum, sehingga terbit PMK 68/2022.
"Dalam konteks perdagangan biasa bisa kelihatan siapa jual siapa beli. Dalam kripto, kalau mengguunakan mekanisme normal tidak bisa dipajaki, karena pseudonim dan anonim, tidak kelihatan siapa yang bertransaksi tetapi terlihat di market," ujar Bonar pada Selasa (6/4/2022).
Hal itu mendasari penunjukkan pihak yang menarik pajak dari transaksi kripto adalah penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau exchanger. Pajak dikenakan ketika transaksi berlangsung, meskipun penjual dan pembelinya bersifat pseudonim atau anonim.
PMK 68/2022 mengatur pengenaan pajak terhadap beberapa jenis transaksi kripto, mulai dari jual beli, pertukaran aset (swap) hingga penukaran aset kripto ke mata uang. Bonar menggunakan sejumlah analogi dalam pengenaan pajaknya.
Dia mengibaratkan pedagang mobil dan jam mewah akan bertansaksi. Dalam konteks pengenaan PPN, misalnya X sebagai pedagang mobil bekas akan menjual barangnya kepada seseorang, maka penjualan itu terutang PPN atau X harus mengenakan PPN dalam transaksi tersebut.
Analogi lainnya, X akan menukar mobilnya dengan Y yang merupakan penjual jam mewah. Bonar menyebut bahwa dalam pertukaran itu terjadi dua penyerahan, yakni mobil kepada Y dan jam kepada X, sehingga keduanya kena PPN.
"Kesannya dua kali [kena PPN], enggak. Karena pengenaan itu terjadi di setiap penyerahan. Kripto saya serahkan kepada pembeli, nanti pembeli membayar lewat uang, transaksi terjadi, masuk uangnya, kriptonya saya serahkan, titik pengenaannya di sana. Pengenaan ini dimungkinkan pemungutan oleh fasilitator karena sangat controlable sama keduanya," ujar Bonar.