Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membeberkan adanya berbagai tantangan terkait dengan pembiayaan perumahan yang saat ini dihadapi.
Direktur Pengembangan Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Pembiayaan Kementerian PUPR, Agus Sulaiman mengatakan ada tiga tantangan dalam pembiayaan perumahan di Indonesia.
Pertama, Agus mengungkapkan bahwa sampai saat ini program perumahan masih berfokus pada rumah yang dibangun secara formal atau dibangun oleh developer untuk dimiliki dan dijual.
Kedua, populasi pekerja di Indonesia didominasi oleh sektor nonformal. Merujuk data Susenas pada Agustus 2021, sebesar 59,45 persen pekerja indonesia bekerja di sektor nonformal, sedangkan 40,55 persen bekerja di sektor formal.
Ketiga, masyarakat mempunyai kecenderungan untuk perbaikan rumah dan membangun rumah sendiri.
Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh World Bank tahun 2020, di mana dari 26 persen yang memiliki rumah menjawab 87 persen memerlukan perbaikan rumah. “Jadi bukan membeli rumah.”
Sedangkan sisanya, 74 persen yang tidak memiliki rumah menjawab ingin membangun rumah di tanah sendiri dengan persentase sebesar 41 persen.
“Sekali lagi, ini bertolak belakang dengan kondisi yang dihadapi saat ini, di mana program pemerintah kebanyakan pendekatan secara formal,” ungkap Agus dalam Virtual Seminar LPPI ke #71, Kamis (31/3/2022).
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RP JMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan rumah tangga yang menghuni rumah layak sebanyak 70 persen atau secara total 11 juta rumah tangga. Namun, terdapat gap antara target RP JMN dengan Program Perumahan 2020-2024, yakni 6.738.927 unit dari 11 juta rumah tangga.
Agus menerangkan sebanyak 3.447.412 unit merupakan program yang disediakan secara formal. Sedangkan, rumah swadaya hanya 813.660 unit.
“Jadi ada gap yang luar biasa untuk penyediaan perumahan yang dilakukan secara swadaya, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan informal. Ini yang menjadi landasan ke depan, sepertinya pemerintah akan menggeser kebijakan bantuan pembiayaan perumahan ke arah pembiayaan informal, tapi butuh waktu ke arah sana,” lugasnya.
Selain itu, dia menyayangkan kontribusi sektor properti terhadap GDP Indonesia hanya berkisar 2,8 hingga 3,1 persen sepanjang 2019-2021, meski sektor properti menjadi salah satu lokomotif pada masa pandemi dikarenakan mampu memberikan multiplier effect ke 174 sektor.
“Kita sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan Malaysia, India, dan Singapura. Mereka sudah di atas 11 bahkan di atas 20 persen GDPnya,” bebernya.