Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen diperkirakan makin menekan pergerakan purchasing managers' index (PMI) Indonesia selama kuartal I/2022.
Padahal, hingga saat ini, data-data menunjukkan bahwa ekspansi PMI manufaktur terpantau melambat akibat dampak pandemi yang tak kunjung berakhir dan harga bahan baku yang melambung.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Ina Primiana berpendapat PMI Manufaktur Indonesia dapat menyentuh area kontraksi akibat penerapan kebijakan tersebut.
"Bisa [terjadi kontraksi pada PMI Manufaktur], itu ada kemungkinan walaupun tidak secara langsung, mungkin baru dua sampai tiga bulan berikutnya," kata Ina saat dihubungi, Jumat (1/4/2022).
Diketahui, PMI manufaktur Indonesia hanya naik tipis menjadi 51,3 pada Maret 2022, dari Februari 51,2. Masih ada selisih yang cukup lebar dengan PMI manufaktur pada Januari sebesar 53,7.
Ina juga mengatakan industri manufaktur saat ini masih dalam proses pemulihan dari pandemi sehingga sudah selayaknya pemerintah menjaga momentum pertumbuhannya.
Kenaikan pajak yang disertai inflasi akan menjadi tekanan ganda dan dikhawatirkan juga akan berdampak ke daya saing produk dalam negeri. Akibatnya, serapan pasar akan produk-produk impor bisa jadi meningkat. Terlebih, pelaku industri tekstil melaporkan masuknya barang-barang impor ilegal jelang Lebaran ini.
"Pasti dampaknya ke harga [jual]. Sementara daya beli belum pulih kembali," imbuh Ina.
Dia melanjutkan selain PPN, pelaku usaha juga akan menghadapi wacana kenaikan tarif dasar listrik yang sempat direncanakan mulai April. Namun, mempertimbangkan pemulihan ekonomi, kenaikan tarif listrik diundur jadi kuartal IV/2022.
Menurut Ina, kebijakan pemerintah hendaknya menyesuaikan dengan momentum pemulihan industri yang belum tuntas ini.
"Harus dipikirkan jangka panjang. Mungkin perlu ada diskresi terutama untuk industri yang menyerap banyak lapangan kerja, industri yang sedang tumbuh, dan yang ekspornya tinggi," ujarnya.