Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DPR: Pemerintah Perlu Kaji Kondisi Terkini terhadap Rencana Kenaikan PPN

DPR menilai perlu adanya kajian lebih lanjut terkait kenaikan PPN seiring dengan adanya potensi kenaikan harga bahan bakar minyak yang mungkin akan menekan daya beli masyarakat.
Petugas melayani pengunjung di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Sawah Besar Satu, Jakarta, Rabu (31/3/2021). Bisnis/Arief Hermawan P
Petugas melayani pengunjung di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Sawah Besar Satu, Jakarta, Rabu (31/3/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi XI Andreas Eddy Susetyo menilai bahwa Kementerian Keuangan harus melakukan kajian terkait kondisi terkini, ketika harga energi dan komoditas melambung tinggi, dan pengaruhnya terhadap rencana kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN pada April 2022 mendatang.

Andreas menjelaskan bahwa dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah telah menggunakan berbagai asumsi inflasi, harga komoditas, dan pertumbuhan ekonomi. Disepakati bahwa tarif PPN akan naik bertahap, 1 persen pada April 2022 dan 1 persen lainnya 2025.

Meskipun begitu, menurutnya, eskalasi konflik Rusia dan Ukraina menyebabkan lonjakan harga energi dan komoditas. Andreas menilai bahwa kondisi itu dapat memengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM), subsidi pemerintah, hingga daya beli masyarakat, sehingga perlu adanya kajian lebih lanjut terkait kenaikan PPN.

"[Kenaikan PPN] itu sebetulnya sudah memperhitungkan dinamika, pengaruh terhadap inflasi, segala macam. Namun, kemudian dengan adanya perang Ukraina, inflasi, harga pangan naik, kembali nanti kami akan mintakan kajian kepada pemerintah, dalam hal ini BKF [Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan]," ujar Andreas kepada Bisnis, Selasa (15/3/2022).

Anggota DPR dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menilai bahwa pemerintah sendiri perlu menjaga konsistensi kebijakan, seperti keputusan menaikkan PPN dalam UU HPP. Namun, dinamika saat ini berpotensi menambah beban masyarakat dan menekan daya beli.

Andreas pun menyarankan berbagai alternatif untuk mengimbangi kenaikan PPN, misalnya dengan menambah bantuan sosial tunai dan memperkuat perlindungan sosial. Selain itu, pemerintah dapat memberikan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk jangka waktu tertentu.

"Perlu dipertimbangkan, karena sebetulnya ini dilakukan juga dalam rangka konsolidasi fiskal, takutnya kalau [kenaikan PPN] ditunda nanti kebijakan itu untuk memulainya lagi juga sangat berat. Pertimbangan utamanya jangan menjadikan beban masyarakat berlebihan, karena mengurangi daya beli bisa memukul pertumbuhan ekonomi," katanya.

Menurutnya pemerintah perlu fokus menjaga tren konsolidasi fiskal, agar defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maksimal 3 persen pada 2023 dapat tercapai. Hal tersebut harus terealisasi tanpa menambah beban masyarakat.

"Ini perlunya sinergi dan koordinasi antarsektor, ramuan kebijakan sektor riil seperti rantai pasok barang-barang kebutuhan pokok dibenahi, tetapi juga kemudian kombinasi di sektor fiskalnya dengan PPN DTP. Dikombinasikan dengan keberpihakan terhadap yang kena dampak, dalam bentuk perlindungan sosial," ujar Andreas.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper