Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menghitung Dampak Perang Rusia Ukraina ke Indonesia, Begini Hasilnya

Perang Rusia Ukraina konflik memberikan dampak positif dan negatif bagi ekonomi Indonesia.
gedung Jakarta / Bisnis.com
gedung Jakarta / Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai perang Rusia Ukraina konflik memberikan dampak positif dan negatif bagi ekonomi Indonesia.

Setidaknya ada tiga jalur yang dilihat Josua dari pengaruh konflik antara Rusia dan Ukraina.

Pertama, dari jalur pasar keuangan. Konflik Rusia ke Ukraina mendorong kekhawatiran bahwa perang ini bisa terjadi dan mungkin bisa berlanjut sehingga kekhawatiran itu mendorong investor global untuk mencari aset-aset yang lebih aman atau safe haven assets.

"Kita lihat di sini seperti USD, lalu juga komoditas emas dan juga obligasi pemerintah AS ini menjadi salah satu hedging assets dalam rangka memitigasi risiko yang bisa ditimbulkan dari konflik antara Ukraina dan Rusia  tersebut," kata Josua dalam Talks Podcast Series di kanal YouTube Bisniscom, dikutip Senin (7/3/2022).

Sejauh ini, Josua melihat bahwa dampak konflik kedua negara memang relatif terbatas. 

Jika melihat nilai rupiah Indonesia, saat ini masih cukup stabil yakni masih dalam kisaran Rp14.300 - 14.400 per dolarnya.

Lalu, dari sisi IHSG, menurutnya sejauh ini juga masih cukup stabil meskipun memang akan terjadi koreksi karena kecenderungan dari investor global yang mencari aset-aset yang lebih aman, dimana tentunya bisa memberikan koreksi.

Kendati demikian, sejauh ini secara tahun kalender dibandingkan akhir tahun lalu kinerja IHSG masih tercatat naik sekitar 290 poin per posisi tanggal 2 Maret, atau naik sekitar 4,4 persen.

"Dan juga imbal hasil Surat Utang Pemerintah Indonesia dengan tenor 10 tahun pun juga masih relatif stabil. Jadi, artinya untuk dampak ke pasar keuangannya relatif  cenderung marginal," ungkapnya.

Yang kedua adalah dampaknya terhadap jalur komoditas. 

Dia menjelaskan Rusia merupakan produsen minyak mentah dunia sehingga memberikan kekhawatiran kepada pelaku pasar global dan memacu permintaan terhadap minyak mentah.

Saat ini, katanya, minyak mentah brent sudah baik, yaitu di atas 100 dolar per barel dan jika dikaitkan dengan komoditas lainnya, harga komoditas lainnya juga meningkat, salah satunya adalah batubara.

"Batu bara juga meningkat sehingga tadi ada kekhawatiran berkurangnya suplai gas dari Rusia ke negara-negara Eropa, ini makanya permintaan terhadap batubara cenderung meningkat. Bahkan per tanggal 2 Maret ini harga batubara sudah menembus 300 dollar per ton," imbuhnya.

Selain batu bara, harga CPO juga cenderung naik lantaran Ukraina yang merupakan salah satu produsen sunflower. Dia menyampaikan permintaan terhadap CPO juga meningkat bahkan saat ini sudah menembus US$1.800 per ton.  

Di satu sisi, kenaikan harga minyak mentah ini akan memberikan defisit pada neraca migas Indonesia karena Indonesia adalah net oil importer. Alhasil, neraca migas Indonesia cenderung akan melebar defisitnya.

Namun di sisi lainnya, untuk neraca nonmigas, ini berpotensi tercatat surplus karena Indonesia ditopang oleh kenaikan harga CPO dan batu bara. Ini tentunya akan mendorong kinerja ekspor migas Indonesia.

Ketiga adalah dampaknya terhadap jalur perdagangan. 

Meskipun Rusia dan Ukraina bukan merupakan mitra dagang utama Indonesia, Ukraina merupakan eksportir gandum ke Indonesia, yakni 23 persen dari total ekspor gandum Indonesia.

Sementara itu, Indonesia mengandalkan impor pupuk, baja, dan besi dari Rusia. Dia menjelaskan proporsi impor pupuk sendiri sekitar 15 persen dari total impor pupuk Indonesia. Artinya, jika pada akhirnya terjadi gangguan pada pasokan global akibat konflik kedua negara, maka bisa mengganggu suplai dari beberapa komoditas tadi, serta dapat berpengaruh terhadap industri pertanian serta makanan dan minuman.

Tak hanya itu, Josua mengatakan hal ini juga bisa berdampak kepada kenaikan inflasi. Pasalnya, bila ada gangguan dari sisi pasokan atau sisi produksi, tentunya ini bisa berdampak pada kenaikan harga komoditas tersebut.

Kemudian, berdasarkan perhitungan Josua, akan ada tambahan subsidi energi dan kompensasi  BBM yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah akibat meningkatnya harga minyak. 

"Sehingga memang ini ada positif dan negatifnya. Harapan kami adalah bahwa kurang lebih sedikit lebih banyak positifnya tapi tentunya kita tetap perlu mencermati dampak negatifnya ya, khususnya apabila harga minyak ini terus berlanjut akibat konflik yang berkepanjangan. Karena beberapa analis global memperkirakan jika konflik ini terus berlanjut ini bisa mencapai 150 dollar per barel untuk harga brent sendiri," ungkapannya.

Dia juga berharap resolusi diplomasi ini bisa terjadi dalam jangka pendek sehingga dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.

"Kita tahu kalau harga BBM naik, atau bahan baku pupuk dan gandum naik, ini tentunya juga bisa berdampak pada inflasi domestik dan pada akhirnya ini pun juga akan berdampak kepada terganggunya daya beli masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper