Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi Universitas Jember Adhitya Wardhono PhD memaparkan imbas perang Rusia -- Ukraina terhadap perekonomian di Indonesia karena apa pun ketegangan kedua negara itu akan merugikan perekonomian global dan mengganggu proses pemulihan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
"Pertumbuhan ekonomi global akan melandai apabila upaya damai kedua negara tidak segera terjadi," katanya kepada di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (5/3/2022).
Menurutnya, dampak konflik Rusia ke Ukraina dan sanksi Uni Eropa ke Rusia dapat terjadi melalui beberapa transmisi di antaranya lonjakan harga komoditas, lonjakan harga energi, dan supply chain shock.
"Kombinasi dari ketiga hal itu akan berdampak bagi perekonomian global termasuk Indonesia yang saat ini masih mengalami dampak dari adanya pandemi Covid-19," tuturnya.
Sektor perdagangan internasional akan mengalami koreksi, meski nilai dagang Indonesia dan Rusia sebenarnya di posisi positif awal tahun 2022 berbanding tahun lalu.
Adhitya mengatakan, yang perlu diperhatikan dari konflik Rusia dan Ukraina itu adalah kemungkinan inflasi global karena kenyataan itu akan terjadi mengingat sasaran pertama dari konflik adalah terhambat-nya rantai pasok global, sehingga mengganggu pemulihan ekonomi global yang tengah terjadi saat ini.
Baca Juga
"Dengan begitu pertumbuhan ekonomi global akan terkontraksi nyata. Selebihnya akan mengakibatkan melandai-nya konsumsi dan investasi global yang disebabkan terganggunya arus barang dan jasa internasional, sehingga sektor ekspor impor mengalami performasi yang menurun," katanya.
Sektor Perdagangan
Dia menjelaskan, hubungan Rusia dengan Indonesia bersifat nostalgic, sehingga dampak langsung adanya invasi Rusia ke Ukraina lebih ke arah sektor perdagangan, meskipun Rusia-Ukraina bukan mitra dagang utama Indonesia.
"Konflik itu dapat berdampak pada bahan makanan yang diimpor oleh Indonesia dari Ukraina, terutama gandum, besi dan baja (23 persen), dan lainnya 2 persen," ujarnya.
Untuk itu, lanjut dia, produsen mi, roti, dan tepung bergantung pada impor gandum dari Ukraina, sehingga perlu diversifikasi untuk komoditas tertentu, kemudian 56 persen dan 88 persen ekspor Indonesia ke Rusia dan Ukraina adalah minyak sawit mentah (CPO).
Sementara, impor terbesar dari Rusia adalah besi dan baja dan dari Ukraina adalah gandum, sehingga tekanan di sisi pasokan gandum perlu menjadi perhatian bagi pasokan pangan domestik.
Ukraina adalah top supplier bagi gandum Indonesia karena lumbung gandum banyak berlokasi di daerah timur (Ukraina Timur) berdekatan dengan daerah yang diduduki oleh pasukan Rusia.
Data dari APTINDO menggambarkan bahwa konsumsi terigu di Indonesia tumbuh 4,6 persen pada tahun 2021.
Lonjakan konsumsi terigu domestik didorong oleh kembali hidupnya perekonomian dan perkembangan bisnis bakery, sehingga jika harga gandum naik, maka pelaku bisnis di sektor itu akan terkena dampak paling besar.
Dalam jangka pendek, lanjut dia, kenaikan harga batu bara dan kelapa sawit akan berdampak positif pada ekspor Indonesia, tetapi dalam jangka menengah adanya risiko ekonomi akan berdampak pada melemah-nya permintaan komoditas tersebut, sehingga investor dapat beralih ke safeheaven assets karena volatilitas yang tinggi di pasar keuangan dan modal.
"Shock lain yang terjadi di global supply chain adalah Rusia merupakan pemasok utama Palladium global (40 persen ekspor global dari Rusia). Palladium adalah input untuk industri otomotif dan pembuatan chip, sehingga supply chain untuk industri itu akan terpengaruh," ujarnya.