Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kenaikan LPG Nonsubsidi Dikhawatirkan Picu Kelangkaan LPG 3 Kg, Ini Sebabnya

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan menaikan LPG nonsusbidi.
Petugas menata tabung gas Liquefied Petroleum Gas (LPG) di Jakarta, Selasa (11/1/2021). Bisnis/Suselo Jati
Petugas menata tabung gas Liquefied Petroleum Gas (LPG) di Jakarta, Selasa (11/1/2021). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto khawatir dengan kenaikan harga LPG nonsubsidi secara berturut-turut selama tiga bulan terakhir.

Sebab, kenaikan harga tersebut dapat memicu migrasi pelanggan untuk beralih ke LPG subsidi ukuran 3 kg.

“Hal tersebut sangat mungkin terjadi. Sekarang ini saja sekitar 12 juta pelanggan gas melon 3 kg adalah mereka yang tidak berhak,” terang Mulyanto dalam keterangan resminya, Jumat (4/3/2022).

Menurutnya, kondisi pandemi Covid-19 saat ini menyebabkan perekonomian masyarakat tidak stabil. Oleh karena itu, sangat wajar jika mereka mendapat tekanan harga, pelanggan LPG nonsubsidi ini akan mencari jalan keluarnya sendiri yaitu menggunakan LPG subsidi yang lebih murah.

Terlebih, untuk mendapatkan gas melon tersebut bukan persoalan yang sulit karena hingga saat ini masih dijual bebas di pasaran.

“Tidak ada pembatasan khusus. Karenanya LPG bersubsidi ini terbuka untuk dibeli oleh pelanggan yang selama ini menggunakan LPG non-subsidi,” ujar Mulyanto.

Menyikapi hal itu, ia mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang menaikan harga LPG nonsubsidi tersebut.

“Harga LPG non-subsidi ini tidak mesti naik, karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas akibat melonjaknya harga migas dunia, sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lainnya seperti batu bara, gas alam dan CPO yang harganya juga melejit menuai wind fall profit,” jelas Mulyanto.

Sebagai contoh, lanjutnya, penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO pada tahun 2021 sebesar USD 55 milyar. Sementara defisit transaksi berjalan sektor migas, karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar USD 13 milyar.

“Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batubara dan CPO mestinya dapat mengkompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper