Bisnis.com, JAKARTA — Exxon Mobil Corp. memutuskan meninggalkan Rusia, setelah negara tersebut memutuskan menyerang Ukraina. CEO Darren Woods menyebut tindakan Rusia sebagai penghancuran yang tidak perlu.
Woods mengatakan bahwa proses menghentikan operasi di hulu minyak dan gas Rusia akan terbilang rumit dan membutuhkan perhitungan yang cermat. Saat ini, aset Exxon di Rusia tersebut senilai US$4 miliar atau setara Rp57,5 triliun dan menghasilkan 1–2 persen dari pendapatan dan modal yang digunakan.
“Sebagai operator Sakhalin-1, kami memiliki tanggung jawab yang signifikan untuk memastikan bahwa operasi itu berjalan dengan aman, dan integritas kinerja lingkungan dan operasi itu sendiri baik,” kata Woods, mengutip Bloomberg, Kamis (3/3/2022).
Dalam jangka panjang, Exxon akan mengembangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk keluar dari 30 persen sahamnya di Sakhalin-1, kata Woods. Raksasa minyak AS itu juga berjanji untuk tidak melakukan investasi baru di Rusia.
Adapun Exxon Mobil mengoperasikan Sakhalin-1 melalui sebuah konsorsium internasional bersama perusahaan dari Jepang, India, dan Rusia. Proyek ini menghasilkan sekitar 227.000 barel per hari pada tahun lalu.
Akan tetapi seiring waktu, Rusia menjadi kurang penting dalam portofolio global Exxon. Sanksi yang dijatuhkan AS sejak Rusia menginvasi Ukraina memaksa Exxon untuk meninggalkan kemitraan eksplorasi dengan Rosneft PJSC yang telah masuk dalam rencana bisnis mantan CEO Rex Tillerson.
Baca Juga
Woods menjelaskan bahwa sanksi terbaru dan pembatasan ekspor dari AS membuat operasi di Rusia tidak dapat dipertahankan. “Kami memperkirakan seiring waktu, kemampuan untuk terus beroperasi dan mempertahankan integritas operasi tersebut akan menurun,” katanya.
Sebagaimana diketahui, AS dan beberapa negara Barat telah menjatuhkan sanksi kepada Rusia atas invasi militer ke Ukraina. Teranyar, AS telah menutup wilayah udara untuk pesawat yang dimiliki dan dioperasikan oleh Rusia.