Bisnis.com, JAKARTA — Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) belum menerima permohonan penyelidikan safeguards terkait dengan lonjakan impor baja sepanjang 2021. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan impor besi dan baja (HS 72) pada 2021 sebesar 13,03 juta ton atau mengalami peningkatan 15 persen dari pencatatan 2020 di posisi 11,35 juta ton.
Kendati demikian, nilai impor HS 72 pada 2021 menyentuh di angka US$11,95 miliar atau mengalami peningkatan yang signifikan mencapai 74 persen dari torehan 2020 di angka US$6,85 miliar.
“Sampai sekarang belum ada perusahaan yang menyampaikan permohonan penyelidikan terkait dengan informasi data impor tersebut,” kata Mardjoko melalui pesan WhatsApp kepada Bisnis, Minggu (27/2/2022).
Mardjoko mengatakan lembaganya berkomitmen untuk menindaklanjuti permintaan industri dalam negeri apabila adanya kerugian atau ancaman serius akibat lonjakan impor baja tersebut. Hanya saja hingga saat ini, KPPI masih menunggu permintaan penyelidikan safeguard dari industri terkait.
“Sebelumnya telah dikenakan initial safeguard untuk I dan H section dari baja selama tiga tahun dan diperpanjang 3 tahun lagi. Jadi totalnya telah dikenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP)/Safeguard Measures selama 6 tahun,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Industri baja nasional masih dirundung tingginya impor yang menggerus utilisasi produksi hingga menjadi 40 persen saja pada semester I/2021.
Ketua Klaster Produk Flat The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Melati Sarnita mengatakan, peningkatan impor yang terjadi akan semakin berdampak pada utilisasi industri baja nasional, di mana sampai dengan semester I/ 2021 hanya sebesar rata-rata 40 persen.
“Masih jauh dari kondisi good utilization sebesar 80 persen,” kata Melati dalam keterangannya, Jumat (24/12/2021).
Dia mengatakan, peningkatan impor baja dengan kode HS 72 sebesar 20 persen terhitung tinggi. Khusus untuk produk CRC/S, selain mengalami peningkatan sebesar 63 persen dari tahun sebelumnya, sebanyak 700.000 ton, atau 53 persennya merupakan CRC/S paduan.
Melati mengkhawatirkan kondisi tersebut akan terus berlangsung sampai kuartal kedua 2022 jika pemerintah tidak segera melakukan pengendalian, karena kuota impor terus diberikan.