Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan perlunya pengakuan pemerintah dalam bentuk regulasi untuk mendukung peralihan ke industri hijau.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan industri sawit Indonesia banyak dijegal di pasar global karena persepsi mengenai aspek keberlanjutan akibat aktivitas pembukaan lahan dan hutan untuk perkebunan. Padahal, selain perhitungan keluaran emisi karbon, perkebunan sawit juga berkontribusi melalui carbon net sink, yakni penyerapan karbon bersih yang merujuk pada selisih jumlah emisi dan serapan. Upaya itu disebut dengan sekuestrasi.
"Ada satu unsur aspek yang tidak pernah diakui yaitu sekuestrasi. Intinya kita mesti punya regulasi yang benar-benar firm berdasarkan kajian, jangan sampai regulasinya karena ada pressure secara politik global," kata Joko dalam webinar Bisnis Indonesia Green Economy Outlook 2022, Rabu (23/2/2022).
Joko mengatakan pengakuan upaya sekuestrasi industri kelapa sawit ini yang tidak diakui pasar global, terutama Eropa. Sehingga masih ada persepsi bahwa sawit tidak selaras dengan ekonomi hijau.
Padahal, prinsip sekuestrasi ini dapat terhubung ke perdagangan karbon, jika nantinya sistem tersebut diterapkan di Indonesia.
"Sekarang ini sudah ada secara spot di pasar global, mestinya kita bisa bikin di pasar domestik," katanya.
Baca Juga
Contoh lain yang menggambarkan perbedaan standar penerimaan di pasar dalam negeri dan dunia yakni biodiesel. Sementara pemerintah meyakini bahwa bahan bakar turunan sawit tersebut berkontribusi terhadap upaya penurunan emisi nasional, Uni Eropa di sisi lain tidak mengakui biodiesel sebagai produk ramah lingkungan.
Tekanan lain yaitu mengenai pembiayaan, dimana Joko mengatakan pengusaha sawit telah lama mengalami penolakan permintaan kredit dari perbankan internasional karena isu keberlanjutan. Padahal, menurut catatannya, 80 persen perkebunan sawit sudah mengantongi sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Itu belum termasuk sertifikasi hijau lain yang bersifat voluntary.
"Ini harus diingatkan jangan sampai perbankan Indonesia ikut-ikutan kayak bank-bank Eropa, walaupun sekarang belum terjadi," katanya.