Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan pemerintah yang akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April mendatang dianggap membebani konsumen.
Ahmad Tauhid, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan konsumen diperkirakan akan menanggung biaya lebih besar dari kenaikan tarif PPN dan akan memicu inflasi semakin tinggi.
“Beban biaya yang meningkat di level produsen akibat tambahan pajak tersebut akan mendorong pelaku usaha menaikkan harga produknya ke konsumen. Saat ini saja sejumlah harga komoditas pangan terus merangkak naik seperti minyak goreng, kedelai, beras dan lainnya,” kata Ahmad dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/2/2022).
Menurutnya kenaikan harga jual produk dan inflasi akan menjadi salah satu tantangan dalam proses pemulihan ekonomi disaat pandemi yang belum selesai saat ini, karena akan menurunkan daya beli masyarakat.
Sektor makanan dan minuman (mamin) yang terdampak kenaikan tarif PPN akan sangat dirasakan konsumen. Ia menilai menaikkan tarif PPN di tengah kondisi seperti saat ini kurang pas.
Lebih jauh Ahmad menjelaskan, bagi sektor usaha, kenaikan tarif PPN ini akan menambah beban perusahaan. Angka pertambahan tarif PPN memang terkesan kecil, hanya 1 persen. Namun jika diakumulasikan dengan transaksi perusahaan, nominalnya akan sangat besar.
Baca Juga
Ia menunjuk sejumlah sektor seperti besi dan baja yang akan terkena dampak karena tarif PPN. Kenaikan tarif PPN akan berakibat pada harga jual produk. Implikasinya peningkatan penjualan perusahaan juga tidak akan terjadi dengan cepat.
Menurut Ahmad, sektor usaha properti dan otomotif masih akan menikmati insentif PPN hingga akhir tahun ini. Adanya insentif tersebut membuat kenaikan tarif PPN tidak serta merta menaikkan harga jual produknya.
Hanya saja, jika insentif berakhir, pelaku usaha otomotif dan properti pasti akan melakukan penyesuaian harga akibat perubahan tarif PPN tersebut. Ia juga melihat adanya perpanjangan insentif kedua sektor itu tahun 2022 lantaran mampu mengoptimalkan insentif dan dan berdampak ke pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kebijakan insentif harus memacu sektor usaha untuk memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada ekonomi nasional. Seperti sektor properti dan otomotif yang berhasil menaikkan penjualan dan berpengaruh ke sektor usaha lainnya,” imbuh Ahmad Tauhid.
Selain itu sesuai UU HPP terdapat beberapa obyek pajak baru yang akan terkena kebijakan kenaikan PPN. Di antaranya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan orang banyak dan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu optimis kenaikan tarif PPN 1 April nanti akan berdampak terbatas terhadap inflasi.
"Dampak kenaikan tarif PPN akan cukup terbatas karena kenaikannya juga terbatas dari 10 persen menjadi 11 persen [persen]. Itu pun mulai 1 April. Jadi dalam konteks setahun dampaknya hanya berlaku selama tiga kuartal," tutur Febrio.