Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemulihan ekonomi 2023 tidak akan bersandar pada anggaran pendapatan dan belanja rumah tangga (APBN). Adapun pada tahun depan pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2022, yakni 5,3–5,9 persen.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia mendorong konsolidasi fiskal karena pada tahun depan defisit harus berada di bawah 3 persen. Hal tersebut menjadi pertimbangan dalam penyusunan RAPBN 2023.
Menurutnya, pemerintah akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang motornya bukan berasal dari APBN. Dukungan keuangan negara sudah begitu besar pada 2020 hingga 2022, sehingga selanjutnya sektor-sektor ekonomi lain harus mampu tumbuh.
"Kebijakan ekonomi makro 2023 akan mendorong pemulihan yang berasal dari sumber-sumber pertumbuhan yang tidak hanya bergantung kepada APBN. Peranan non-APBN menjadi penting," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers terkait hasil sidang kabinet paripurna, Rabu (16/2/2022) di Istana Negara, Jakarta.
Menurutnya, potensi pertumbuhan non-APBN di antaranya ada dari kenaikan konsumsi, investasi, dan ekspor. Institusi keuangan seperti perbankan menjadi salah satu sektor yang berpeluang mencatatkan pertumbuhan besar dari potensi yang ada tersebut.
Perbankan, kata Menkeu, memiliki ruang untuk meningkatkan penyaluran kredit. Hal ini terlihat dari posisi loan to deposit ratio (LDR) perbankan yang berada di level 77 persen dengan dana pihak ketiga (DPK) yang mencapai Rp7.250 triliun. Bermodal hal tersebut, pertumbuhan kredit 5,2 persen pada 2021 dapat terus berlanjut.
Lalu, peluang lainnya ada di pasar modal, dengan nilai pasar saham yang tumbuh 3,77 persen menjadi Rp7.231 triliun dan obligasi yang tumbuh 9,65 persen menjadi Rp4.718 triliun. Jumlah investor domestik pun bertambah menjadi 7,5 juta sehingga membuka peluang besar bagi perekonomian.
"Bisa menjadi sumber bagi pemulihan ekonomi dengan perusahaan-perusahaan bisa melakukan IPO, right issue, maupun mengeluarkan obligasi," ujar Sri Mulyani.