Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Sentral di Asia 'Selow' Hadapi Tekanan Inflasi

India, Indonesia, dan Thailand menjaga suku bunga acuan di level terendah pada pekan lalu, ditengah laju inflasi global yang menguat.
Reserve Bank of India/ Bisnis
Reserve Bank of India/ Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Bank sentral di Asia masih menikmati ruang untuk menahan kebijakan moneter dan mengarahkan fokus ke pertumbuhan ekonomi. Namun, tekanan mulai muncul seiring dengan ancaman inflasi global yang mulai memanas.

Dilansir Bloomberg pada Jumat (18/2/2022), India, Indonesia, dan Thailand menjaga suku bunga acuan di level terendah pada pekan lalu. Filipina juga bertahan seiring dengan upaya pemulihan ekonomi di tengah berlanjutnya penyebaran virus.

Namun, siklus pengetatan Amerika Serikat yang lebih agresif dan lonjakan harga minyak sejak 2014 mungkin akan mengubah cara pandang pembuat kebijakan di kawasan Asia.

Peralihan ini bisa ditandai dengan kondisi keuangan yang lebih ketat dan biaya pinjaman yang lebih tinggi.

"Otoritas moneter mungkin lebih baik menunggu sampai pemulihan ekonomi berlanjut hingga paruh pertama 2022. Namun, ada risiko mereka bertindak lebih dini," ungkap Kepala Ekonom APAC Moody’s Analytics Steve Cochrane.

Dalam pertemuan bank sentral dan menteri keuangan G20 pada pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mendesak mitranya untuk mulai keluar dari kebijakan era pandemi sehingga negara berkembang tidak menderita dari dampak yang akan menghambat pemulihan.

Kawasan Asia memiliki cadangan devisa yang cukup untuk berlindung dari volatilitas yang mungkin terjadi saat Federal Reserve menaikkan suku bunga hingga 50 basis poin pada Maret.

Pembuat kebijakan India tetap optimistis setelah Reserve Bank of India (RBI) memutuskan mempertahankan reverse repo rate tidak berubah.

Hal ini mengejutkan pasar karena mereka berekspektasi ada perubahan suku bunga seiring dengan normalisasi kebijakan.

Adapun, laju inflasi di Thailand mencapai 3,23 persen pada Januari, melampaui perkiraan para ekonom 2,47 persen.

Kenaikan memicu pertukaran suku bunga non-deliverable dua tahun melonjak sebanyak 22 basis poin mendekati level tertinggi dalam dua tahun terakhir, memisahkan diri dari ekspektasi yang lebih dovish untuk bank sentral Thailand.

Sementara itu, Indonesia akan lebih sensitif terhadap siklus kenaikan dari The Fed sejalan dengan tujuannya untuk menjaga sistem keuangan yang stabil.

Inflasi di AS dapat menimbulkan pertanyaan baru bagi Bank Indonesia, yang pada 10 Februari lalu memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga dengan total 100 basis poin pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi pasar.

"[Data AS terbaru] mungkin sudah cukup memberikan peringatan kepada BI terhadap kemungkinan tingginya kenaikan suku bunga The Fed," ungkap ekonom Oversea-Chinese Banking Corp. Wellian Wiranto.

Hal itu akan memicu peluang bagi BI untuk menaikkan suku bunga pada Maret juga.

Sementara itu, Gubernur Bangko Sentral ng Pilipinas Benjamin Diokno mengatakan tidak perlu mengikuti The Fed dan tidak akan terburu-buru memperketat kebijakan moneter.

Namun, dengan harga minyak yang mendekati US$95, akan sulit mempertahankan sikap demikian.

Pada Kamis (17/2/2022), Diokno memberikan isyarat langkah dukungan pandemi. "Kami akan berkomitmen untuk keluar [dari stimulus pandemi] ketika kami mulai benar-benar melihat, berdasarkan penilaian kami, bukti pemulihan berkelanjutan dan/atau peningkatan risiko inflasi."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper